Liputan6.com, Jakarta - Garuda Indonesia Group dan Sriwijaya Air Group sepakat untuk kembali melanjutkan Kerja sama Manajemen (KSM). Kesepakatan tersebut diambil setelah sempat terjadi dispute (perselisihan) antar keduanya.
Direktur Utama Citilink Indonesia, Juliandra mengungkapkan ada beberapa hal yang menjadi alasan KSM tersebut masih harus terus dilangsungkan. Salah satunya aspek safety atau keselamatan.
"Kami berharap dengan komitmen dan momentum ini dapat menjadi titik kita kembali atau turning point lagi para pihak berkomitmen untuk senantiasa yang pertama mengedepankan safety," kata dia, di Gedung Manajemen Garuda, Tangerang, Selasa (1/10).
Advertisement
Baca Juga
Untuk itu, kata dia, kelaikan armada pesawat Sriwijaya Air akan menjadi prioritas utama untuk saat ini. Ini merupakan safety paling penting dalam dunia penerbangan.
Alasan kedua adalah terkait kepentingan pelanggan. "Jadi kepentingan pelanggan itu sangat menjadi pertimbangan kami karena kita berkomitmen melanjutkan KSM ini," ujarnya.
Alasan yang ketiga adalah, KSM ini merupakan bagian dari program penyelamatan aset negara dalam hal ini mendukung kondisi Sriwijaya Air menjdi lebih baik lagi.
"Dan yang terakhir adalah alasan kita ingin ekosistem penerbangan di Indonesia ini makin sehat sehingga dari alasan-alasan perimbangan tersebut lah kita berkomitmen pada hari ini untuk terus melanjutkan KSM," tegasnya.
Dia menyatakan KSM ini akan dilakukan secepat-cepatnya mulai dengan memberikan dukungan operasional penerbangan kepada pesawat-pesawat Sriwijaya Air.
Reporter: Yayu Agustini Rahayu
Sumber: Merdeka.com
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Sriwijaya Air Tunggak Utang Hingga Rp 2,46 Triliun
Maskapai penerbangan Sriwijaya Air Group menunggak utang senilai Rp 800 miliar kepada PT Garuda Maintenance Facilities (GMF) AeroAsia untuk biaya perawatan pesawat.
Selain kepada GMF, Sriwijaya Air Group juga menunggak utang kepada BUMN lainnya yakni PT Pertamina, Angkasa Pura I, dan II, Airnav Indonesia dan lainnya dengan total Rp 2,46 triliun terhitung pada Oktober 2018.
Direktur Operasi Sriwjaya Air Captain Fadjar Semiarto, menjelaskan banyaknya utang yang menunggak juga menjadi alasan pemutusan kerja sama dengan anak usaha Garuda Indonesia untuk perawatan pesawat itu.
“Ya karena outstanding, tunggakannya besar, walaupun sudah dicicil juga tidak bisa dimitigasi, jumlahnya Rp 800 miliar, berpotensi macet,” ujar dia seperti mengutip Antara.
Ia menambahkan kondisi perusahaan pun sudah berada dalam rapor merah, yaitu dalam Hazard, Identification dan Risk Assessment sudah berstatus merah 4A di mana tingkat paling parah adalah 5A.
Kondisi tersebut, menurut Fadjar, sudah tidak memungkinkan bagi sebuah maskapai untuk meneruskan operasional penerbangan.
Untuk itu pihaknya mengajukan surat rekomendasi untuk menghentikan sementara operasional Sriwijaya Air Group hingga kondisi sudah kembali memungkinkan, terutama kondisi finansial perusahaan.
“Dari kondisi finansial yang saat ini sedang berefek kepada hampir semua aspek, baik dari sisi operasi, sisi komersial, dan sisi teknis, kemudian sumber daya manusia dan paling berat finansial,” katanya.
Karena itu, ia menambahkan operasional terganggu. Salah satunya banyaknya keterlambatan penerbangan yang menyebabkan membengkaknya biaya layanan sebagai kompensasi.
“Dana service recovery dalam sehari itu bisa Rp 1 miliar untuk penerbangan, selama belum dikatakan cancel sesuai dengan PM 78 kita wajib menyediakan makanan ringan dan lainnya,” kata dia.
Dalam kesempatan sama Direktur Teknik Romdani Ardali Adang mengatakan pihaknya juga merasa khawatir sejak putus kontrak dengan GMF karena perawatan pesawat tidak terjamin.
“Saya terus terang sejak putus dengan GMF sampai saat ini khawatir karena status cukup merah. Spare part saja tidak, oli saja, ban pun terseok-seok,” dia menandaskan.
Advertisement