Liputan6.com, Jakarta - Pemerintah tengah menyusun rencana penerapan sanksi berat bagi peserta yang terbukti menunggak pembayaran iuran premi Badan Penyelenggaran Jaminan Sosial Kesehatan (BPJS Kesehatan). Hal ini menimbulkan beragam reaksi, termasuk dari kalangan buruh, yang notabene mendapat manfaat dari layanan BPJS Kesehatan.
Ketua Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia (KPBI) Ilham Syah menyatakan, jika wacana tersebut benar direalisasikan, maka artinya negara telah menindas rakyat.
"Kalau benar wacana ini muncul dan direalisasikan oleh pemerintah, artinya pemerintah sedang menuju kediktatoran. Memaksa rakyat dan memberikan sanksi jika tidak melakukan," ungkapnya saat dihubungi Liputan6.com, seperti ditulis Jumat (11/10/2019).
Advertisement
Baca Juga
Ilham kemudian mempertanyakan substansi dari BPJS Kesehatan sendiri. Negara harusnya memberikan fasilitas penunjang kesehatan secara gratis kepada masyarakat, bukan malah mengambil dari rakyat. Apalagi sampai menggunakan alat negara untuk melakukan tindakan represif.
"Jadi ini konsepnya seperti apa? Pajak kesehatan atau jaminan kesehatan? Kesehatan itu harusnya gratis, negara berkontribusi sebaik-baiknya pada rakyat karena rakyat juga sudah taat bayar pajak. Bukannya malah membuat kesehatan menjadi industri," ungkapnya.
Direktur Utama BPJS Kesehatan Fahmi Idris sempat mencontohkan, jika penerapan sanksi dinilai efektif meningkatkan kolektabilitas peserta dari 25Â persen menjadi 90 persen. Namun, Ilham menyatakan kalau contoh tidak bisa dijadikan acuan begitu saja.
"Kalau membandingkan dengan Korea Selatan, berapa gaji minimum pekerja Korea, berapa gaji minimum kita, tidak bisa disamaratakan begitu saja," tuturnya.
Adapun, wacana pemberian sanksi mencuat karena defisit BPJS Kesehatan diprediksi mencapai Rp 32 triliun tahun ini. Adapun layanan publik yang berpotensi dicabut antara lain pembuatan Surat Izin Mengemudi (SIM) dan passpor.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Tak Bisa Perpanjang SIM hingga IMB Sanksi Bagi Penunggak BPJS Kesehatan
Pemerintah tengah menyiapkan aturan yang secara otomatis bisa memberi sanksi terhadap penunggak iuran BPJS Kesehatan. Masyarakat yang menunggak iuran akan kena konsekuensi saat membutuhkan pelayanan perpanjangan SIM, pembuatan paspor, IMB dan lainnya.
Direktur Utama BPJS Kesehatan Fachmi Idris mengatakan automasi sanksi layanan publik dimaksudkan untuk meningkatkan kolektabilitas iuran peserta BPJS Kesehatan dari segmen Pekerja Bukan Penerima Upah (PBPU).
"Inpresnya sedang diinisiasi untuk sanksi pelayanan publik. Selama ini sanksi ada tapi hanya tekstual tanpa eksekusi, karena itu bukan wewenangnya BPJS," kata Fachmi, seperti mengutip Antara, seperti dikutip Kamis (10/10/2019).
Dengan regulasi melalui instruksi presiden ini, pelaksanaan sanksi layanan publik akan diotomatiskan secara daring antara data di BPJS Kesehatan dengan basis data yang dimiliki kepolisian, Direktorat Jenderal Kependudukan dan Catatan Sipil, Badan Pertanahan Negara, dan lain-lain.
Sehingga apabila ada seseorang yang ingin mengakses layanan publik seperti memperpanjang SIM namun masih menunggak iuran, sistem yang terintegrasi secara daring tidak bisa menerima permintaan tersebut.
Sanksi layanan publik tersebut sebenarnya sudah tercantum dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 86 Tahun 2013 Tentang Tata Cara Pengenaan Sanksi Administratif Kepada Pemberi Kerja Selain Penyelenggara Negara Dan Setiap Orang, Selain Pemberi Kerja, Pekerja, Dan Penerima Bantuan Iuran Dalam Penyelenggaraan Jaminan Sosial.
Dalam regulasi itu mengatur mengenai sanksi tidak bisa mendapatkan Izin Mendirikan Bangunan (IMB), Surat Izin Mengemudi (SIM), sertifikat tanah, paspor, dan Surat Tanda Nomor Kendaraan (STNK) bila menunggak membayar iuran BPJS Kesehatan.
Namun Fachmi menyampaikan bahwa sanksi tersebut tidak ada satu pun yang pernah dilaksanakan karena institusi terkait yang memiliki wewenang. Hasilnya, tingkat kolektabilitas iuran peserta mandiri atau PBPU yang berjumlah 32 juta jiwa hanya sekitar 50 persen.
Advertisement
Sontek Korea
Fachmi menekankan pentingnya sanksi bagi peserta yang tidak mau membayar iuran. Dia mengambil contoh jaminan sosial negara lain seperti Korea Selatan yang sebelumnya kolektabilitas hanya 25 persen menjadi 90 persen ketika menerapkan sanksi untuk kolektabilitas.
Di Korea Selatan, pemerintah diberikan wewenang untuk mengakses rekening peserta jaminan sosial dan langsung menarik besaran iuran dari dana pribadi bila orang itu mampu membayar.
Contoh lainnya, di salah satu negara Eropa, kepatuhan membayar iuran jaminan sosial menjadi syarat untuk meneruskan pendidikan di perguruan tinggi.
Saat ini BPJS Kesehatan juga telah menerapkan sistem autodebet bagi peserta yang baru mendaftar. Akun bank peserta secara otomatis akan berkurang jumlahnya untuk dibayarkan iuran kepada BPJS Kesehatan.
Namun sistem autodebet tersebut masih memungkinkan gagal apabila peserta sengaja tidak menyimpan uang pada nomor rekening yang didaftarkan lalu membuka akun bank baru. Oleh karena itu Fachmi berharap pada regulasi mengenai automasi sanksi akan meningkatkan kepatuhan dan kepedulian masyarakat dalam membayar iuran.