Sukses

Pemerintah Diminta Hati-Hati Buka Data HGU Perusahaan

Aturan di BPN, dokumen HGU terutama terkait dengan warkat dan data-data lainnya memang tidak terbuka untuk umum.

Liputan6.com, Jakarta - Pengamat Tata Kelola Kehutanan, dan Sumber Daya Alam (SDA) Budi Mulyanto meminta pemerintah hati-hati dan tidak terburu-buru dengan membuka seluruh informasi terkait Hak Guna Usaha (HGU) lahan.

Menurutnya tidak seluruh data HGU bisa dibuka ke publik karena ada kepentingan privat yang dilindungi undang-undang. Data umum mengenai luasan dan izin HGU yang telah diberikan pemerintah bisa saja diakses menjadi menjadi data publik.

“Namun tidak etis dan tidak ada perlunya publik mengetahui data privat seperti titik koordinat HGU perusahaan. Apalagi sampai meminta semua data terkait dokumen kepemilikan HGU untuk dibuka,” kata Budi Mulyanto dalam keterangan tertulis di Jakarta, Kamis (17/10/2019).

Sementara itu, Pengamat hukum Kehutanan dan Lingkungan Sadino menjelaskan, aturan di BPN, dokumen HGU terutama terkait dengan warkat dan data-data lainnya memang tidak terbuka untuk umum.

“Jadi karena ada aturan yang tidak membolehkan ya tentu KIP tidak bisa menafsirkan sendiri,” kata Sadino ketika dihubungi, kemarin.

Dia menambahkan, pemerintah tidak perlu membuka data HGU perkebunan sawit seluruhnya karena rawan dijadikan alat kampanye hitam. Di sisi lain, negara juga wajib melindungi banyak kepentingan hukum lain terkait kerahasiaan pemerintah provinsi dan investasi. Salah satunya agar kepercayaan kreditor terhadap dunia usaha tidak menurun karena selama ini HGU juga dijaminkan.

“Jika semua data HGU dibuka, maka kepercayaan investor terhadap dunia usaha di Indonesia menjadi berkurang,” kata Sadino.

Menurut Sadino, sebenarnya data umum mengenai keterbukaan HGU sudah ada yang bisa diakses publik. Data HGU tersebut menyangkut luasan perkebunan, tanggal penerbitan, nomor penerbitan dan data umum lainnya.

Hanya saja, permintaan kelompok sipil untuk mengakses semua data HGU terkait semua dokumen termasuk file SHP dan peta koordinat sangat berlebihan.

 “Untuk kepentingan apa seluruh data itu harus bisa diakses. dalam industri sawit selama ini, ujung-ujungnya data ini hanya akan dipergunakan sebagai alat kampanye hitam,” katanya.

Sebelumnya, Majelis Komisioner Komisi Informasi Pusat (KIP) memutuskan informasi dokumen Hak Guna Usaha (HGU) di Provinsi Papua dan Papua Barat sebagai informasi publik yang bersifat tertutup.

Dalam putusannya, KIP memutuskan informasi dapat dibuka untuk daftar nama pemegang HGU. Lain halnya dokumen serta peta areal HGU diputuskan sebagai informasi tertutup.

“Mengabulkan permohonan pemohon untuk sebagian yakni menyatakan informasi yang dimohonkan pemohon yaitu: nama pemilik HGU dan daftar HGU terlantar di Provinsi Papua dan Papua Barat sebagai informasi publik yang bersifat terbuka.” kata Hendra J Kede selaku Ketua Sidang dan Wakil Ketua KIP saat membacakan amar putusan di Ruang Sidang KIP, Jakarta, Senin awal pekan ini.

Pertimbangan lain majelis untuk menutup informasi dokumen HGU adalah isu keamanan negara di Papua dan masalah kampanye hitam terhadap industri sawit.

 

* Dapatkan pulsa gratis senilai jutaan rupiah dengan download aplikasi terbaru Liputan6.com mulai 11-31 Oktober 2019 di tautan ini untuk Android dan di sini untuk iOS

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

2 dari 2 halaman

HGU Beri Kepastian Hukum dalam Usaha Perkebunan

Pemerintah menjamin bahwa Hak Guna Usaha (HGU) memiliki kekuatan hukum dalam hal kepemilikan atau penguasaan dan pengelolaan area atau wilayah yang digunakan sebagai usaha perkebunan.

Sekretaris Direktorat Jenderal Hubungan Hukum Keagrariaan Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR)/BPN Ery Suwondo mengatakan, seperti halnya Sertifikat Hak milik (SHM), HGU juga bersifat pribadi (privat). Dengan demikian tidak mudah dan bisa sembarang orang bisa mengakses data-data HGU.

“Berbeda dengan SHM, HGU berbatas waktu 35 serta bisa diperpanjang hingga 25 tahun. HGU juga tidak bisa diwariskan turun temurun,” ujar dia di Jakarta, Kamis (27/6/2019).

Ery mengakui, salah satu pemicu problematika yang berdampak pada konflik horizontal warga negara, pihak swasta dan pemerintah di lapangan yang menimbulkan permasalahan, serta kerugian ekonomi tingkat nasional terjadi, terutama karena lahan perkebunan bersinggungan dengan hutan atau kawasan hutan. 

“Pemberian HGU yang bermasalah, biasanya bersinggungan dengan hutan atau kawasan hutan. Namun pada prinsipnya, Kementerian ATR/BPN menerapkan proses yang ketat dan clear and clean,” ungkap dia.

Sebagai contoh, hingga kini pihaknya masih menahan pemberian HGU untuk 80 ribu hektare bakal areal perkebunan kelapa sawit di Kalimantan Tengah. Hal ini karena arealnya bersinggungan bahkan masuk atau memakai kawasan hutan. Jika HGU itu diberikan maka akan mengubah tata ruang wilayah tersebut secara signifikan.

Ery mengharapkan, Rancangan Undang-Undang (RUU) Pertanahan dapat menjadi solusi tumpang tindih regulasi dan peraturan terkait lain yang menjadi penyebab timbulnya konflik lahan di perkebunan terutama perkebunan kelapa sawit.

“Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional sedang memproses bersama DPR. Kebijakan ini sebagai upaya untuk mengatasi dan mensinergikan regulasi yang tumpang tindih dalam pengelolaan Perkebunan dan Hutan Tanaman Industri,” kata Ery.