Sukses

Penggabungan Batas Produksi Rokok Buka Celah Pasar Ilegal

Simplifikasi tarif cukai dan penggabungan SKM dan SPM berdampak terhadap sisi persaingan usaha.

Liputan6.com, Jakarta Simplifikasi dan penggabungan batas produksi rokok Sigaret Kretek Mesin (SKM) dan Sigaret Putih Mesin (SPM), diperkirakan akan berdampak negatif pada keberlangsungan industri dan penerimaan negara.

Peneliti dan akademisi Ilmu Ekonomi Universitas Padjadjaran (Upad) Bayu Kharisma mengatakan, berdasarkan simulasi penerapan simplifikasi maupun penggabungan jumlah produksi rokok jenis SKM dan SPM akan menimbulkan berbagai dampak.

"Simplifikasi dan penggabungan batas produksi SPM dan SKM akan berdampak negatif ke berbagai aspek," kata Bayu, di Jakarta, Kamis (17/10/2019).

Dia menyebutkan, dampak pertama dirasakan pada pelaku industri golongan 2 yang akan terdampak.  Yaitu kenaikan tarif yang drastis sehingga mengancam kelangsungan usaha.

"Ketika pabrik golongan 2 terdampak tutup karena tak lagi mampu bersaing, ada lapangan kerja yang akan hilang sebagai akibat," tuturnya.

Simplifikasi tarif cukai dan penggabungan SKM dan SPM berdampak terhadap sisi persaingan usaha. Wacana simplifikasi berpotensi akan mendorong ke arah monopoli.

Bayu melanjutkan, masalah lain yang berpotensi timbul adalah semakin maraknya pasar rokok ilegal, sebab konsumen akan memilih rokok yang lebih murah karena tidak membayar cukai dan pajak.

Dengan begitu rokok legal sepi peminat dan pada pendapatan negara dari cukai dan pajak. "Konsumen beralih ke rokok murah yang tidak membayar cukai dan pajak lainnya," tandasnya.

 

* Dapatkan pulsa gratis senilai Rp10 juta dengan download aplikasi terbaru Liputan6.com mulai 11-31 Oktober 2019 di tautan ini untuk Android dan di sini untuk iOS

2 dari 2 halaman

Pemerintah Diminta Tutup Celah Kebijakan Cukai yang Rugikan Negara

Pemerintah diminta menutup celah pada kebijakan cukai rokok pada aturan yang ada saat ini. Celah tersebut terkait sistem cukai rokok yang membedakan besaran tarif cukai berdasarkan jumlah produksi perusahaan.

Wakil Direktur Visi Integritas Emerson Yuntho mengatakan, celah tersebut memberikan ruang bagi perusahaan besar untuk membayar cukai rokok mesin golongan 2 atau golongan tarif cukai murah, padahal memiliki omset triliunan rupiah dan penjualan miliaran batang rokok per tahun.

"Golongan 2 ini sebenarnya diperuntukkan bagi perusahaan rokok kecil dan menengah karena tarifnya yang jauh lebih rendah dibandingkan golongan 1. Namun sayangnya, itikad baik pemerintah dimanfaatkan oleh konglomerasi rokok global," kata Emerson dalam keterangan tertulisnya Selasa (15/10/2019).

Dengan celah aturan tersebut, pabrikan rokok besar bisa membayar cukai rokok buatan mesinnya dengan tarif murah. Bahkan, tarif cukai yang dimanfaatkan konglomerasi rokok global tersebut setara dengan tarif cukai rokok kretek tangan, yang menyerap banyak tenaga kerja dan merupakan warisan budaya Indonesia.

Berdasarkan penelitian Indonesia Budget Center (IBC), celah dalam aturan cukai rokok ini menyebabkan hilangnya potensi penerimaan negara sebesar Rp 6,25 triliun pada 2019.

Emerson pun mendorong divisi pencegahan Komisi Pemberantasan Korupsi untuk ikut jeli melihat potensi kebocoran dari penerimaan negara. Terlebih, cukai rokok merupakan salah satu kontributor penerimaan negara yang cukup signifikan.

Sementara Direktur Advokasi Pusat Kajian Anti Korupsi Universitas Gajah Mada (Pukat UGM), Oce Madril  menyatakan, kebijakan saat ini memunculkan peluang kebijakan yang bisa dimanfaatkan.

“KPK harus mereview kebijakan cukai. Berdasarkan review itu, KPK terbitkan rekomendasi revisi kebijakan kepada Menteri berkaitan dengan perbaikan kebijakan yang harus dilakukan sehingga celah dapat dihindari,” tutup Oce.

Video Terkini