Liputan6.com, Jakarta - Pemerintah telah menerapkan kebijakan Non Tarif Measures (NTM) agar dapat memberikan perlindungan dan pengamanan terhadap investasi di dalam negeri.
Kebijakan regulasi teknis berbasis standardisasi ini juga diimplementasi negara-negara lain, yang diperbolehkan melalui perjanjian tentang Hambatan Teknis Perdagangan (Technical Barriers to Trade/TBT) dari Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organization/WTO).
“Banyak negara di dunia yang memanfaatkan standar, regulasi teknis dan prosedur penilaian kesesuaian sebagai instrumen untuk mengamankan industri dalam negerinya dari serangan produk-produk impor yang tidak berkualitas,” kata Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Industri (BPPI) Kemenperin, Ngakan Timur Antara,di Jakarta dalam acara Forum Standardisasi Industri, Selasa (22/10).
Advertisement
Baca Juga
Ngakan menjelaskan, sejak 1994, Indonesia secara resmi meratifikasi persetujuan pembentukan WTO melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994 tentang pengesahan Agreement Establishing the WTO.
Artinya, Indonesia harus menyiapkan diri sebaik mungkin untuk mampu menghadapi sebuah era globalisasi dengan suasana persaingan perdagangan yang semakin ketat.
“Hal tersebut juga menimbulkan konsekuensi bahwa segala bentuk hambatan perdagangan khususnya hambatan tarif secara bertahap harus diturunkan,” ungkapnya.
Menurut Ngakan, instrumen yang umumnya dilakukan di Indonesia adalah melalui pemberlakuan Standar Nasional Indonesia (SNI) secara wajib, yang fokus utamanya untuk produk-produk yang berkaitan dengan Keamanan, Kesehatan, Keselamatan manusia dan Lingkungan (K3L).
“Standardisasi industri merupakan salah satu instrumen kebijakan yang dapat berfungsi ganda, yaitu untuk meningkatkan akses pasar luar negeri dan menekan laju impor,” terangnya.
Reporter: Dwi Aditya Putra
Sumber: Merdeka.com
* Dapatkan pulsa gratis senilai jutaan rupiah dengan download aplikasi terbaru Liputan6.com mulai 11-31 Oktober 2019 di tautan ini untuk Android dan di sini untuk iOS
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Cegah Masuknya Barang Berkualitas Rendah
Di samping itu, standardisasi sering dijadikan sebagai ukuran pemenuhan terhadap persyaratan akses pasar di suatu negara tujuan ekspor. Di sisi lain, pemenuhan terhadap persyaratan SNI yang telah diwajibkan, juga dapat mencegah masuknya barang-barang yang berkualitas rendah.
“Hingga semester pertama tahun 2019, dari total 4.984 SNI di bidang industri, sebanyak 113 SNI di antaranya ditetapkan sebagai SNI wajib,” sebut Ngakan.
Pembuktian kesesuaian mutu produk dalam kerangka penerapan SNI wajib dilakukan melalui penilaian kesesuaian yang dilakukan oleh Lembaga Penilaian Kesesuaian (LPK), yaitu Lembaga Sertifikasi Produk (LSPro) dan Laboratorium Penguji. Sampai saat ini, menurut data dari Pusat Standardisasi Industri Kemenperin, BPPI terdapat 51 LSPro dan 87 Laboratorium Uji.
"Kemenperin terus meningkatkan kemampuan LPK khususnya lab pengujian agar dapat memenuhi kebutuhan terhadap penerapan SNI itu sendiri,” ujar Ngakan.
Dia menambahkan, ketersediaan infrastruktur standardisasi industri terus ditingkatkan dengan merumuskan SNI. Di mana SNI yang dirumuskan juga tidak lepas dari acuan kebijakan industri yang telah ditetapkan sesuai dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) dan dalam rangka harmonisasi standar baik dalam rangka kerjasama ASEAN, APEC, atau perjanjian bilateral dan multirateral yang disepakati oleh Indonesia.
Lebih lanjut, pihaknya juga terus menjalin koordinasi dengan Kementerian atau Lembaga, tidak hanya implementasi SNI Wajib saja namun juga dalam perumusan SNI Wajib, antara lain dengan Kementerian Pertanian, Kementerian Perdagangan, Badan Standardisasi Nasional (BSN).
Advertisement