Liputan6.com, Jakarta Perguruan tinggi dinilai harus dengan cepat mengantisipasi kemajuan teknologi yang begitu cepat mengubah wajah industri dunia. Hal itu perlu generasi muda Indonesia tidak tertinggal.
“Banyak perguruan tinggi di Indonesia hanya menjalankan fungsi transaksional, masuk kuliah, membayar, dan lulus,” tutur anggota Panel Ahli ITB Prof Dr Ida I Dewa Gede Raka, Kamis (24/10/2019).
Baca Juga
Menurut dia, kampus tidak boleh seperti itu. Indonesia memiliki beberapa kampus ternama di dunia, seperti Institut Teknologi Bandung (ITB).
Advertisement
Seperti ITB, kampus harus bisa membawa misi transformasional dalam menghadapi masa depan. Dari masa lalu dia membawa tugas sejarah, ke depan dia membawa bangsa ini menghadapi masa depan.
Dia mencontohkan, banyak orang besar yang lahir dari ITB. Seperti Soekarno. Adapula Sejumlah pengusaha sukses. Misalkan Arifin Panigoro, Budi Sadikin, hingga Achmad Zaky, anak muda pendiri Bukalapak.
Kampus, seperti ITB sebenarnya lebih dari sekadar mengeluarkan lulusan ke dunia kerja, tetapi ada beban dan risiko tanggung jawab yang diemban.
Dikatakan Raka, ada empat misi civitas academica yang harus dijalankan sebagai perguruan tinggi yakni menjadi pelopor di mana pun dia berada. Lalu, berjuang untuk kenggulan yaitu mencoba mencapai yang terbaik.
Menurut Raka, ITB sudah mampu memenuhi standar global, karena lulusannya bisa bersaing dan diterima di institusi global.
Namun, hal yang menjadi kendala dalah bujet perguruan tinggi di Indonesia sangat terbatas. Tidak usah jauh-jauh membandingkannya dengan Amerika Serikat, dengan Malaysia atau negara ASEAN lainnya saja, perguruan tinggi Indonesia sudah tertinggal.
“Walau ada potensi untuk standar global, kalau bensinnya saja masih kurang, tentu kalah cepat. Sistem bujet kita belum berpihak pada lembaga riset dan perguruan tinggi,” ujar dia.
Kondisi itu pernah diungkapkan Menteri Keuangan Sri Mulyani. Ia mengatakan, jika berbicara tentang riset, maka tidak bisa lepas dari pendidikan.
Dana riset adalah bagian dari dana pendidikan meski porsinya hanya kecil. Alokasi anggaran untuk pendidikan mencapai Rp 492,5 triliun pada 2019 dan untuk riset hanya Rp 35,7 triliun.
Menurut Sri Mulyani, dari anggaran riset Rp 35,7 triliun itu dialokasikan untuk 45 kementerian/lembaga. Artinya, anggaran sangat kecil dan tidak terasa manfaatnya.
Belum lagi jika dilihat dari sisi penggunaan, anggaran riset itu hanya sekitar 43,7 persen yang benar-benar dipakai untuk penelitian.
Sisanya digunakan untuk belanja operasional seperti gaji pegawai.Makanya, Sri Mulyani berencana meningkatkan peran swasta dalam pendanaan penelitian agar lebih meningkat. Salah satu caranya, pemerintah memberi insentif.
Karena saat ini dana penelitian hanya berasal dari pemerintah. Saat ini, sebanyak 66 persen dari total belanja penelitian di Indonesia itu dari pemerintah.
Pertengahan 2018, Kementerian Ristek dan Dikti menyebutkan, anggaran riset Indonesia pada 2018 sebesar Rp 41,82 triliun atau 0,28 persen dari total PDB.
"Jumlah itu cukup rendah ketimbang negara lain, khususnya negara-negara ASEAN. Malaysia, anggaran risetnya sudah 1 persen dari PDB mereka. Lalu Thailand (0,25 persen) dan Singapura (2,1 persen)," jelas dia.
Terkait hal itulah, menurut Raka, menjadi rektor di perguruan tinggi tidak mudah. Hal itu karena ekspektasi stakeholder yang sangat tinggi seperti bagaimana memenuhi keinginan pemerintah, masyarakat, dunia usaha, dosen, dan sebagainya.
Menurut Raka, perguruan tinggi mirip dunia usaha, dia berkompetisi semakin ketat karena terbuka. Setidaknya ada rumus sederhana agar institusi bisa maju, seorang rektor harus memiliki kemampuan integrasi internal.
Setidaknya ada beberapa faktor kunci agar perguruan tinggi sukses, dan ini menjadi tantangan seorang rektor. Seorang rektor harus bisa menarik orang-orang pintar untuk bergabung menjadi dosen. Sebab, itu menjadi modal perguruan tinggi.
Lalu, seberapa jauh rektor ini bisa menarik mahasiswa yang bagus. Harus diperjelas apakah perguruan tinggi itu bisa membuktikan memiliki reputasi dan krediblitas untuk menerima dana besar.
“Perguruan tinggi tidak bisa maju jika hanya mengandalkan uang dari pemerintah yang sedikit ini,” tutur dia.
Lapangan Kerja
Menurut Ketua Ikatan Alumni ITB Ridwan Djamaluddin, saat ini ITB semakin bagus. Meski ada tiga hal yang perlu dilakukan agar ITB bisa bersaing secara global.
ITB harus mampu beradaptasi terhadap disrupsi-disrupsi yang ada. Misalnya terhadap pasar lapangan kerja yang akan berubah dalam waktu yang cepat.
Selanjutnya, kedekatan dengan industri. Walaupun perguruan tinggi pada hakikatnya menghasilkan manusia, tetapi dalam dua sisi manusianya, akan menjadi bagian dari industri.
Di sisi lain infrastruktur di dalamnya seperti laboratorium dan lainnya seharusnya mengikuti kemajuan industri.
Kemudian, berbicara tentang nilai-nilai. Perguruan tinggi harusnya menjunjung nilai-nilai universal, keterbukaan, inklusif, tidak semata-mata ITB sebagai bagian dari Indonesia, tetapi sebagai bagian dari dunia.
Terkait sosok rektor yang tepat untuk memimpin ITB, menurut Ridwan, rektor mirip seorang presiden di republik ini. Ia menjadi pemimpin dan teladan. Pemimpin itu harus menjadi sosok yang merupakan representasi dari seluruh komunitas yang ada. Ia tidak boleh eksklusif.
Advertisement