Sukses

Kenaikan Iuran Peserta Mandiri BPJS Kesehatan Terlampau Tinggi

Advokat M Sholeh melakukan gugatan uji materi Perpres nomor 75 tahun 2019 di Pengadilan Negeri Surabaya pada Jumat (1/11/2019).

Liputan6.com, Jakarta - Keputusan Presiden Joko Widodo (Jokowi) menaikkan iuran Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan 100 persen yang dituangkan ke dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 75 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2018 menuai polemik. Tak hanya penolakan dilakukan oleh sejumlah masyarakat, namun ada juga yang sampai melakukan gugatan terhadap perpres ini.

Ketua Bidang Advokasi BPJS Watch, Timboel Siregar, mengatakan polemik yang dirasakan oleh sejumlah masyarakat ini tak lain karena adanya kejanggalan terhadap isi perpres tersebut. Salah satu pemicunya yakni berada di pasal 34 dari isi perpres tersebut.

Di mana, dalam pasal tersebut iuran bagi peserta PBPU (Peserta Bukan Penerima Upah) dan Peserta BP (Bukan Pekerja) terlampau terlalu tinggi. Ditambah kondisi masyarakat saat ini daya belinya terbatas, serta pelayanan yang diberikan BPJS Kesehatan belum baik. Sehingga ini membuat banyak pihak merasa keberatan.

"Menurut saya gini, jadi kenaikan itu akan menjadi sebuah keniscayaan. Perpres 75 itu relatif sudah benar. Cuman yang kurang tepat itu di pasal 34. Itu bicara soal kenaikan iuran peserta mandiri. Yang naiknya terlampau tinggi menurut saya dan itu yang harusnya di koreksi pemerintah itu tidak sesuai menurut saya," kata dia saat dihubungi merdeka.com, Jumat (1/11/2019).

Dalam pasal 34 yang diatur pada Perpres 75 tahun 2019 tersebut mengatur kenaikan tentang kenaikan iuran. Adapun untuk iuran kelas III naik menjadi Rp42.000 per orang per bulan, kelas II menjadi Rp110.000 per orang per bulan, dan untuk kelas I menjadi Rp160.000 per orang per bulan.

Melihat kondisi tersebut, dirinya mengusulkan agar besaran iuran yang ditetapkan saat ini dikaji ulang kembali. Misalnya besaran iuran untuk kelas III kenaikannya hanya sekitar Rp2.000 atau Rp3.000 per bulan, untuk kelas II sebesar Rp10.000 per bulan, dan kelas I sebesar Rp15.000 per bulan.

"Jadi maksud saya Perpres 75 tetap berlaku. Tapi pasal 34 itu tentang kenaikan iuran itu ditinjau ulang saja. Sehingga naiknya gak usah tinggi-tinggi.

Di samping itu, dia juga menyoroti kenaikan iuran BPJS Kesehatan harus diikuti dengan pelayanan yang diberikan. Jangan sampai kata dia, ada pasien menjadi peserta BPJS Kesehatan namun tidak mendapatkan haknya dan justru menjadi pasien umum.

"Persoalanya kan bukan hanya sekedar itu, tapi kemauan dia tergantung dengan pelayanan, kalau dia cari kelas tidak dapat terus jadi pasien umum ngapain jadi peserta BPJS bayar tapi tidak dilayani," tandasnya.

Reporter: Dwi Aditya Putra

Sumber: Merdeka.com

 

2 dari 3 halaman

Gugatan

Seperti diberitakan, salah satu advokat, M Sholeh melakukan gugatan uji materi Perpres nomor 75 tahun 2019 di Pengadilan Negeri Surabaya pada hari ini Jumat (1/11).

"Kita ini mau ajukan uji materi terhadap Perpres no 75 tahun 2019. Uji materi menjadi kewenangannya Mahkamah Agung (MA), tetapi boleh didaftarkan melalui PN setempat, nanti PN yang akan meneruskan ke MA," ujarnya.

Dia berharap, jika uji materi ini nanti dikabulkan, maka Perpres tentang kenaikan iuran akan dibatalkan. Jika dibatalkan, maka secara otomatis akan kembali pada aturan yang mengacu pada Perpres yang lama.

"Ya Perpres kenaikan iuran itu dibatalkan maka kembali ke perpres yang lama yaitu tidak ada kenaikan," tambahnya.

Disinggung soal alasan melakukan uji materi ini, pria yang berprofesi sebagai advokat itu mengaku hanya memiliki alasan yang sederhana, yaitu situasi ekonomi yang belum baik dapat memberatkan masyarakat.

"Alasannya sederhana, situasi ekonomi kan belum bagus, pendapatan masyarakat kan tidak tinggi, kalau kenaikan 100 persen itu kan logikanya tidak tepat, itu yang pertama," katanya.

Alasan kedua adalah manfaat apa yang didapat oleh masyarakat seiring dengan kenaikan iuran BPJS hingga 100 persen itu. Sebab menurutnya, manfaat kenaikan iuran dianggapnya tidak akan berpengaruh banyak terhadap pelayanan kesehatan yang didapat oleh masyarakat.

"Apa yang didapatkan manfaat oleh masyarakat oleh peserta BPJS, kalau itu dinaikkan 100 persen. Layanan meningkat katanya, meningkat apa, ga ada pelayanan ya tetap saja, rumah sakit ya rumah sakit ngunu iku (seperti itu). Kecuali akan dihapus rujukan berjenjang, jadi kalau sakit ga perlu ke puskesmas, itu baru peningkatan, kalau ga kan sama saja," tegasnya.

 

3 dari 3 halaman

Salah Logika

Dia menganggap salah logika yang dipakai presiden untuk menaikan iuran BPJS. Perhitungan membuat BPJS yang diharapkan akan menjadikan untung pemerintah, justru membuat tekor atau merugi. Karena merugi itu, masyarakat yang disuruh pemerintah untuk menanggungnya.

"Jadi logika yang dipakai presiden ini kan logika yang salah, dia ini kan salah perhitungan bikin BPJS. Alih-alih supaya dapat untung tapi malah bikin tekor. Karena tekor rakyat yang disuruh menanggung jadi dinaikkan, yang kita inginkan bubarkan saja BPJS itu, sebab apa BPJS itu salah perhitungannya," ujarnya.

Dia menyarankan, dalam kasus seperti ini harusnya yang ditanggung oleh negara itu hanya orang miskin. Konsepnya, orang miskin yang tidak mampu dibiayai oleh pemerintah daerah.

"Balik seperti Jamkesda dulu, jadi kalau ada orang miskin tidak mampu baru dibayari sama Pemda. Sekarang ini kan salah, orang mampu semua kalau sakitnya abot (berat) baru ikut BPJS. Bubarkan saja mestinya, karena keluhan masyarakat itu tidak hanya bagi orang biasa, pekerja pun banyak mengeluh dulu perusahaan itu kerjasama dengan asuransi swasta lebih bagus, tiba2 dipaksa ikut BPJS semua tambah amburadul kayak itu," katanya.

Dia memastikan, akan mendaftarkan gugatan uji materi Perpres no 75 tahun 2019 tersebut ke Pengadilan Negeri Surabaya pada Jumat besok. "Berkas sudah kita siapkan semua. Besok kita daftarkan ke PN," tambahnya.

Video Terkini