Sukses

Untung Rugi Indonesia Belum Masuk Rantai Pasok Global

Jika satu negara masuk dalam rantai nilai global, maka perekonomiannya akan terpengaruh oleh ekonomi global.

Liputan6.com, Jakarta - Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Rosan Roeslani mengatakan, belum masuknya Indonesia dalam rantai pasok global (global value chain), di satu sisi memberi keuntungan. Hal tersebut menjadi alasan kenapa perlambatan ekonomi global belum berdampak besar bagi perekonomian domestik.

Global Value Chain (GVC) adalah mata rantai produk atau bisnis yang menghubungkan sebuah produk dari penghasil, pengolah, distributor, hingga konsumen akhir dalam skala global.

Jika satu negara masuk dalam rantai nilai global, maka perekonomiannya akan terpengaruh oleh ekonomi global. Perlambatan ekonomi global akan menghantam kinerja perekonomian negara tersebut.

"Kayak Singapura, mereka sudah global value chain. Begitu ekonomi turun mereka turunnya sampai ke 0,0 persen sampai 0,1 persen. Kita di satu sisi pada saat ekonomi dunia turun kita turunnya tidak banyak," kata dia, di Jakarta, Selasa (5/11/2019).

Namun, tentu ada dampak negatifnya. Sebaliknya, jika perekonomian menggeliat dan naik, Indonesia juga hanya sedikit meraup keuntungan.

"Saat ekonomi (global) meningkat, kita meningkatnya juga tidak banyak. Negara lain yang merupakan bagian dari global value chain pasti meningkat lebih banyak," ujar dia.

Karenanya, pemerintah diharapkan memanfaatkan kondisi saat ini untuk memperbaiki kesiapan Indonesia untuk terlibat dalam mata rantai global.

"Untuk memperbaiki kita manufaktur industri kita sebagai bagian dari global value chain. Jadi itulah kadang-kadang kalau (ekonomi global) turun sekarang, dibandingkan negara-negara lain kita masih relatif paling sedikit turun," jelas dia.

"Kita lihat India dari 7 persen sampai 5 persen. China sekarang, di 6,2 persen. Singapura sudah 0,1 persen. Kita relatif sebetulnya turunnya paling sedikit," tandasnya.

2 dari 2 halaman

Ekonomi Indonesia Hanya Tumbuh 5,02 Persen di Kuartal III 2019

Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada Kurtal III 2019 sebesar 5,02 persen (year on year/yoy). Angka ini lebih rendah dibandingkan realisasi pertumbuhan ekonomi pada kuartal II 2019 yang sebesar 5,05 persen yoy.

Selain itu, pertumbuhan ini juga lebih rendah jika dibandingkan dengan dengan pertumbuhan ekonomi di kuartal III 2018 yang tercatat 5,17 persen yoy.

Namun jika dihitung secara kumulatif, pertumbuhan ekonomi Indonesia dari kuartal I 2019 hingga kuartal III 2019 mencapai 5,04 persen. 

"Pertumbuhan ekonomi Indonesia pada Kuartal III 2019 tercatat 5,02 persen. Dibandingkan kuartal II 2018 pertumbuhan ekonomi tumbuh 3,06 persen," kata Kepala BPS, Suhariyanto di Kantornya, Jakarta, Selasa (5/11/2019).

Di samping itu, BPS juga mencatat harga komoditas migas dan non-migas di pasar internasional pada kuartal III 2019 secara umum mengalami penurunan jika secara kuartal (q to q). Penurunan juga terjadi jika dibandingkan secara tahunan (yoy). Hal ini tentu berpengaruh pada perekonomian Indonesia.

Salah satunya terjadi penurunan harga rata-rata minyak mentah Indonesia atau Indonesian Crude Price (ICP) pada kuartal III-2019 mengalami penurunan 16,5 persen dari kuartal II-2018.

Kemudian batu bara mengalami penurunan harga 42,7 persen serta minyak kelapa sawit (CPO) turun 6,85 persen, sementara harga karet naik 1,79 persen

"Di sisi lain, dari empat negara mitra dagang utama Indonesia, perekonomian tumbuh tapi cenderung melambat diantaranya adalah China, Amerika Serikat, Korea Selatan, dan Singapura. Ini semua faktor yang pengaruhi pertumbuhan ekonomi Indonesia," jelas dia.