Liputan6.com, Jakarta - Bank Indonesia (BI) berharap keterlibatan pihak swasta menjadi investor di proyek-proyek infrastruktur Pemerintah semakin diperbesar.
Deputi Gubernur BI Rosmaya Hadi menjelaskan, untuk proyek infrastruktur saja dalam kurun waktu 5 tahun (2019-2024) dibutuhkan sebesar Rp6.000 triliun.
Sedangkan, kemampuan anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) sendiri tiap tahunnya hanya sebesar Rp240 triliun atau senilai Rp1.000 triliun dalam kurun waktu 5 tahun.
Advertisement
Baca Juga
"Dari Rp6.000 T ke Rp.1000 T artinya kan ada Rp5.000 triliun gapnya. Sehingga tentu saja peran swasta kita gerakkan," ujarnya di Jakarta, Kamis (7/11/2019).
Ke depan, pihaknya berupaya keras untuk meningkatkan komitmen untuk menjalin sinergi dengan pihak swasta.
"Sehingga tentu saja peran swasta kita gerakkan. Karena berbagai pihak yang masih berpotensi di negara ini ya kita gerakkan lah," ujarnya
Adapun pihaknya mengungkapan, sektor lain pun juga akan banyak dilibatkan pihak swasta sehingga tak terbatas pada ruang lingkup pembangunan infrastruktur semata.
"Kita harus tingkatkan di berbagai pembiayaan karena ini tidak hanya terbatas bukan saja untuk jalan tol tapi juga butuh energi dan macem-macem, tentu ini memerlukan peran swasta juga," kata dia.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Proyek Konstruksi Didominasi BUMN, Pengusaha Swasta Protes
Pelaku usaha swasta memprotes pelaksanaan proyek pembangunan yang dijalankan selama ini. Sebab, perusahaan pelat merah alias BUMN masih mendominasi.
"Ada satu masalah yang jadi fundamental di konstruksi, problemnya adalah pekerjaan konstruksi itu dikuasai BUMN, tidak dicapai pengusaha-pengusaha swasta," kata Wakil Ketua Umum V Gabungan Pelaksana Konstruksi Nasional Indonesia (Gapensi) La Ode Saiful Akbar, dalam diskusi, di Gedung BEI, Jakarta, Senin (4/11).
Berdasarkan peraturan, lanjut dia, BUMN memang telah diinstruksikan untuk menggarap proyek-proyek dengan nilai di atas Rp 100 miliar. Dengan demikian, swasta diharapkan bisa ambil bagian.
Sayangnya, proyek konstruksi dengan nilai di bawah Rp 100 miliar pun masih dikuasai oleh anak usaha BUMN. "Benar, realisasinya di atas Rp 100 miliar, tapi itu induk, tapi anak usaha dan cicit, itu Rp 100 miliar ke bawah, akhirnya pengusaha nasional enggak dapat apa-apa," ungkap dia.
Selain itu, proyek-proyek konstruksi yang melibatkan BUMN dengan kolaborasi swasta sebagai sub kontraktor pun menurutnya masih ada kendala. Salah satunya terkait keterlambatan pembiayaan.
"Pembayaran BUMN paling cepat 3 bulan syukur-syukur, kadang 6 bulan," imbuhnya.
Advertisement