Liputan6.com, Jakarta - Direktur Program Indef Esther Sri Astuti jelaskan beberapa faktor yang membuat investor asing malas untuk menanamkan modalnya di Indonesia.
"Ada beberapa catatan yang harus diperbaiki dalam kemudahan melakukan investasi di Indonesia," ujar Esther dalam diskusi Antisipasi Resiko Resesi: Respon Kinerja Triwulan III 2019 di Jakarta, Kamis (07/11/2019).
Baca Juga
Pertama, lamanya perijinan baik dalam kemudahan mengawali bisnis, perijinan konstruksi hingga registrasi properti. Data Ease of Doing Business 2019 menujukkan, Indonesia berada di peringkat 134 dalam konteks memulai bisnis. Investor butuh 19,6 hari untuk membangun bisnisnya di Indonesia.
Advertisement
Lalu, perijinan konstruksi memakan waktu hingga 200,1 hari. Registrasi bisnis juga butuh waktu lama, sekitar 27,6 hari.
"Selain itu, pembayaran pajak. Investor bayar pajak hingga 42 kali dalam satu tahun, dengan rerata waktu 207,5 jam atau sekitar 8-9 hari. Itu kan lama sekali," tuturnya.
Ditambah lagi, investor juga merasa biaya listrik masih mahal, sekitar 252,8 persen dari total pendapatan per kapita dan waktunya relatif lama (34 hari).
Transparansi informasi kredit semakin baik, namun kemudahan memperoleh kredit masih kurang bagi investor. Peringkat kredit Indonesia masih di posisi 44, dengan credit registry coverage sebesar 58,2 persen dan credit bureau coverage sebesar 38,1 persen.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Korsel Bentuk Asosiasi Khusus Investor ke Indonesia
Investasi besar-besaran perusahaan Korea Selatan (Korsel) di Indonesia segera terjadi dalam waktu dekat, menyusul perusahaan otomotif Hyundai yang sebelumnya sudah berkomitmen membangun pabrik di kawasan Delta Cikarang yang bisa memproduksi 250 ribu unit mobil per tahun.
Menyambut kehadiran investor-investor dari Negeri Ginseng tersebut, dibentuk Korea Indonesia Management Association (KIMA) yang tujuan utamanya adalah untuk menjembatani perusahaan-perusahaan Korea Selatan yang ingin berbisnis dan investasi di Indonesia.
Pembentukan KIMA merupakan inisiasi profesor marketing Ki-Chan Kim dari Catholic University of Korea. Dia turut mengajak pakar marketing global Hermawan Kartajaya untuk memimpin KIMA di Indonesia.
"KIMA adalah platform knowledge dan bisnis antar kedua negara. Kami siap membantu secara strategis konglomerasi Korea yang ingin membangun bisnis dan berinvestasi di Indonesia," ujar Hermawan dalam penandatanganan pembentukan KIMA di Seoul, seperti dikutip Selasa (5/11/2019).
Ki-Chan Kim turut menyambut baik kerjasama ini, dan berharap KIMA akan banyak memfasilitasi investor-investor Korsel lainnya untuk datang ke Indonesia. Menurutnya, banyak potensi bisnis besar yang masih bisa digarap di Indonesia.
"Jika membandingkan dengan negara Asia Tenggara lain semisal Vietnam, pasar di sana sudah agak jenuh. Sementara Indonesia masih potensial, di mana iklimnya masih menarik untuk bisnis semisal IT sampai makanan," ungkap Kim.
Â
Advertisement
Banyak Potensi
Hal tersebut diamini oleh Byung-Hak Ahn, Kepala Divisi Kerja Sama Global dari perusahaan aset keuangan Mirae. Menurutnya pasar saham Indonesia masih sangat besar porsinya untuk digarap.
"Porsi pasar modal di Indonesia belum menyentuh 50 persen dari PDB. Bandingkan dengan Korea yang sudah 86 persen. Jadi potensi pertumbuhannya besar," tukasnya.