Liputan6.com, Jakarta - Meterai palsu atau meterai bekas pakai (rekondisi) masih beredar di toko online. Salah satu indikasi bahwa meterai tersebut palsu, yakni dijual dengan harga murah, di bawah harga nominal yang tertulis pada meterai yakni Rp 3.000 dan Rp 6.000.
Selain itu, masih ada beberapa perbedaan antara meterai asli dan palsu. Masyarakat harus tahu, agar tidak mudah terperdaya.
Baca Juga
Kepala Unit Pemeriksaan Keaslian Produk Perum Peruri Fuguh Prasetyo mengungkapkan sejumlah perbedaan antara meterai palsu dan yang asli. Perbedaan pertama, meterai asli memiliki lambang Garuda serta cetakan bunga yang memakai tinta alih warna atau berubah warna.
Advertisement
Meterai asli juga memiliki 17 digit nomor seri yang tercetak dengan jelas. Nomor seri ini memiliki angka yang berbeda-beda di setiap meterai. Meterai palsu yang dijual biasanya memiliki nomor seri yang sama antara satu meterai dengan yang lainnya.
Cara mengecek meterai menggunakan prinsip yang sama ketika hendak mengecek keaslian uang, yakni 3D. Hanya saja dalam mengecek meterai 3D berarti, dilihat, diraba, digoyang.
"Untuk mengetahui keaslian pakai 3D, dilihat diraba, dan digoyang. Identifikasi pertama dilihat dari cetakan," kata dia, dalam acara sosialisasi, di kantor pusat DJP, Jakarta, Senin (18/11).
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Desain
Meterai asli, jelas Fuguh, memiliki desain security, yakni terdapat logo Kementerian Keuangan, teks DJP, dan angka nominal. Juga terdapat teks berukuran mikro bertuliskan Ditjen Pajak.
"Jadi kalau diraba ini (meterai) sama seperti uang. Cetakan akan terasa kasar. Fitur ini sama seperti yang diterapkan di uang. Yang digoyang ini bunga yang memiliki tinta alih warna," urai dia.
Jika uang kertas memiliki benang pengaman, maka di meterai asli terdapat hologram. "Kalau meterai itu hologram. Itu silver dan color image, kalau dari sudut pandang tertentu akan berubah warnanya," imbuhnya.
Meterai palsu biasanya memiliki gambar yang kurang jelas dengan warna yang kurang solid. Nomor yang terdiri dari 17 angka di meterai palsu pun biasanya sama dengan meterai-meterai palsu yang lain.
"Ketika menemukan gambar tidak jelas, itu bisa dipastikan meterai palsu. Kalau palsu akan hilang efek perabaannya saat diraba dengan ujung kuku atau ujung jari. Tinta alih warna palsu dicetak dengan metalik atau glossy," tandasnya.
Reporter: Wilfridus Setu Embu
Sumber: Merdeka.com
Advertisement
Hingga Oktober, Penerimaan Bea Materai Tembus Rp 4,6 Triliun
Kementerian Keuangan, khususnya Direktorat Jenderal Pajak (DJP) berupaya meningkatkan penerimaan negara. Salah satunya dari pos penerimaan dari bea materai.
Direktur Potensi, Kepatuhan, dan Penerimaan Pajak Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan Yon Arsal mengatakan, sejauh kontribusi penerimaan pajak dari bea materai berada di kisaran Rp 4 triliun hingga Rp 5 triliun. Per Oktober 2019, penerimaan dari bea meterai menyentuh angka Rp 4,6 triliun.
"Kalau kita lihat perkembangan penerimaan dalam 6 tahun terakhir penerimaan dari bea materaistabil di angka Rp 4-5 triliun. 2013 Rp 4,42 triliun, 2018 Rp 5,4 triliun, 2019 sampai Oktober Rp 4,6 triliun," kata dia, dalam acara sosialisasi, di Kantor Pusat DJP, Jakarta, Senin (18/11).
Patut diakui bahwa pertumbuhan bea materai cenderung lambat. Penerimaan paling tinggi dalam 6 tahun terakhir, kata dia, terjadi pada 2018 yakni Rp 5,4 triliun.
"Pertumbuhan penerimaan pajak meningkat siginifikan jadi porsi bea materai makin lama makin kecil," ujarnya.
Padahal, menurut dia, potensi sumbangan bea meterai cukup besar.
"Menurut kami potensinya cukup besar, karena ada dua komponen satu kegiatan ekonomi dan tidak berbasis ekonomi," jelas Yon.