Sukses

Faisal Basri Sebut Dana Desa Tak Mampu Dongkrak Daya Beli, Ini Alasannya

Faisal Basri menduga selama ini dana desa dinikmati oleh para elitnya saja.

Liputan6.com, Jakarta - Ekonom Senior, Faisal Basri curiga dana desa paling banyak dinikmati oleh para elitnya saja. Sehingga dana desa tidak akan mampu mendongkrak konsumsi dan daya beli.

"Saya duga dana desa ini yang paling banyak menikmati adalah elit desa. Tidak banyak banyak efeknya (ke konsumsi)," kata dia dalam sebuah acara diskusi bertajuk Alarm Perlambatan Konsumsi, di Kawasan Kebon Sirih, Jakarta, Rabu (20/11).

Menurutnya, dana desa seharusnya mampu meningkatkan daya beli dan konsumsi warganya. Jika digunakan untuk proyek padat karya.

"Kecuali kalau dana desa itu digunakan untuk proyek-proyek padat karya di desa," ujarnya.

Selain itu, proyek-proyek pembangunan di desa pun dapat mendongkrak konsumsi dan daya beli jika menggunakan tenaga kerja warga setempat. Misal untuk pembangunan jalan.

"Di desa butuh bangun jalan, dana desanya untuk beli semen kemudian gotong royongnya oleh rakyat dibayar cash," ujarnya.

Namun sayangnya, hal itu juga tidak dapat terwujud di semua desa. Pasalnya, banyak desa yang kekurangan tenaga kerja karena ditinggal merantau oleh penduduknya.

"Karena di desa-desa tertentu kekurangan tenaga kerja karena mereka harus survive bekerja di luar negeri atau di kota," ujarnya.

Selain itu, dia berharap dana desa sistemnya diperbaiki tidak dipukul rata sama dari Sabang sampai Merauke karena masing-masing desa memilik permasalahan yang berbeda.

"Saya setuju dana desa, tapi (masalahnya) desa ini dipukul rata desa dari Sabang sampai Merauke. Saya rasa lebih diserahkan inisiatifnya pada lokal karena lokal yang lebih tahu," tutupnya.

Reporter: Yayu Agustini Rahayu

Sumber: Merdeka.com

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

2 dari 3 halaman

Pemerintah Pastikan Pantau Dana Desa yang Telah Disalurkan

Dana desa yang dikucurkan oleh Pemerintah Pusat melalui Kementerian Keuangan pada 2019 sebanyak 74.954 desa sebesar Rp 70 Triliun. Jumlah desa meningkat dari 2018 yakni sebanyak 74.910 desa dengan kucuran anggaran yang digelontorkan sebesar Rp 60 Triliun.

Sejak digelontorkannya dana desa sejak 2015 hingga 2019 terdapat perbedaan jumlah desa yang tersebar sebagai penerima dana desa. pada tahun 2015 dana yang digelontorkan sebesar Rp 20,67 triliun untuk 74.093 desa, lalu pada 2016 dana desa sebesar Rp 46,98 triliun untuk 74,754 desa, kemudian pada tahun 2017 sebesar Rp 60 triliun untuk 74.910 desa.

Menanggapi adanya perbedaan jumlah desa tersebut, Wakil Menteri Budi Arie Setiadi mengatakan bahwa Kementerian Desa, pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Kemendes PDTT) melakukan pemantauan pemanfaatan penggunaan dana desa yang digelontorkan oleh Kemenkeu.

"Jumlah desa yang digelontorkan oleh Kemenkeu itulah yang kita pantau," kata dalam keterangan tertulis di Jakarta, Jumat (8/11/2019).

Selama ini, kata Budi, Dana desa yang digelontorkan ke desa tidak mengalami permasalahan dalam hal pemanfaatannya. Dana desa, yang diterima oleh desa telah dimanfaatkan dengan baik sesuai aturan, meskipun masih terdapat desa yang perlu bimbingan dalam hal pemanfaatannya.

Lebih lanjut, Wamen mengatakan bahwa Proses perencanaan pengalokasian dana desa selama ini dilakukan melalui kerja sama antar kementerian. Kementerian Dalam Negeri menentukan jumlah dan lokasi desa yang akan mendapatkan dana desa pada tahun berikutnya.

Jika ada keberatan terhadap desa-desa tertentu sesuai laporan masyarakat dan pendamping, maka akan dibawa ke dalam rapat di Kemenko PMK (Kementerian Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan).

Di antaranya pertanyaan mengenai jumlah penduduk dan luas desa (data pada Kemendagri), rumah tangga miskin (data pada Kemensos), jarak berbagai fasilitas desa (data dari BPS).

"Peran Kementerian Desa PDTT dalam proses tersebut ialah menyediakan data APBDes seluruh desa, juga jumlah desa menurut status perkembangan desa (mandiri, maju, berkembang, tertinggal, dan sangat tertinggal)," katanya.

 

3 dari 3 halaman

Alokasi Dana Desa

Selanjutnya, Kementerian Keuangan mengolah seluruh data menjadi bahan pengalokasian dana desa per kabupaten. penyalurannya dana desa dilakukan dengan cara pemindahbukuan atau transfer dari RKUN (Rekening Kas Umum Negara) ke Rekening Kas Umum Daerah (RKUD) dalam hal ini Pemerintah Kabupaten yang selanjutnya dilakukan pemindahbukuan atau transfer dari RKUD ke Rekening Kas Desa (RKD).

Selambatnya 7 hari setelah dana desa diterima, pemerintah daerah mengeluarkan peraturan bupati perihal pengalokasian dana ke masing-masing desa. Nilainya tergantung pada kesulitan geografis tiap desa, di mana semakin besar pada desa yang kian terpencil.

Tahapan pencairan dana desa disalurkan melalui 3 tahapan yakni tahap pertama sebesar 20 persen, tahap kedua sebesar 40 persen dan tahap ketiga sebesar 40 persen.

Terkait pencairannya itu harus memenuhi syarat-syarat tertentu pada setiap tahapannya. Tahap pertama syaratnya Peraturan Desa (Perdes) dan APBDes, lalu untuk tahap kedua laporan realisasi dan konsolidasi dana desa tahun sebelumnya. Dalam tahap kedua ini, syaratnya belum diminta laporan tahap pertama. lalu ada tahap 3, baru laporan tahap satu dan tahap kedua.

Sementara itu, Mengenai sinyalemen adanya desa hantu, menurut Wamen, tertuju pada konsistensi antara kode resmi dari Kemendagri dengan pencairan dana desa di lapangan. Desa hantu menjadi masalah jika sampai dana desa cair, padahal tidak ada rekening kas desa yang asli.