Liputan6.com, Jakarta - Direktur Tanaman Semusim dan Rempah Kementerian Pertanian, Agus Wahyudi menegaskan pihaknya berkomitmen untuk mendorong kinerja komoditas tembakau dan melindungi petani. Komitmen tersebut dijalankan dalam beberapa langkah.
"Pertama, kita sudah menerbitkan Permentan 23/2019 tentang rekomendasi teknis impor Tembakau. Petani tembakau isunya harga sering jatuh. Pemerintah harus melakukan perlindungan dan pemberdayaan petani (tembakau)," kata dia, dalam diskusi, di Jakarta, Rabu (20/11).
Baca Juga
Isi aturan tersebut kata dia, mewajibkan para produsen rokok yang hendak mengimpor bahan baku untuk menyerap tembakau produksi dalam negeri. Jumlah serapan yakni dua kali lipat dari jumlah impor yang diajukan.
Advertisement
"Mengajukan 100, realisasi 100, maka dia punya kewajiban untuk menyerap tembakau dalam negeri dua kali lipat. ini penting agar semua tembakau produksi dalam negeri yang dibutuhkan untuk industri hasil tembakau dalam negeri bisa terjamin suplainya," ujar dia.
"Kedua petani bisa terbeli tembakaunya. Karena neraca masih defisit kita ini," imbuh Agus.
Pemerintah pun akan menetapkan harga minimum dan harga maksimum dari masing-masing jenis tembakau di berbagai daerah. Terkait rencana ini, pihaknya menggandeng sejumlah perguruan tinggi.
"Kita sudah kerja sama dengan perguruan tinggi untuk survei berapa sebenarnya setiap jenis tembakau itu berapa ongkosnya, nanti ditambah keuntungan itulah harga minimum yang harus dibeli oleh pabrik," urai dia.
"Tapi harus harga maksimum kalau pas krisis harganya tinggi, harga maksimum harus ditetapkan," tandasnya.
Reporter: Wilfridus Setu Embu
Sumber: Merdeka.com
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Pengusaha Tembakau Tolak Revisi PP 109 Tahun 2012
Para pemangku kepentingan sektor industri hasil tembakau (IHT) Indonesia bersatu untuk menyampaikan kekhawatirannya atas semakin kuatnya desakan LSM anti-tembakau dengan berbagai upaya untuk memasukkan pedoman Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) salah satunya melalui revisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 109 tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan.
Revisi PP 109 dinilai sebagai suatu agenda asing untuk mematikan IHT yang menjadi tumpuan penghidupan bagi lebih dari 6 juta masyarakat Indonesia dan pada tahun 2018, industri ini berkontribusi lebih dari Rp 200 triliun kepada pendapatan negara, yang diantaranya berasal dari cukai IHT.
Sebelumnya, beredar pemberitaan bahwa Kementerian Kesehatan (Kemenkes) memberikan usulan terkait rancangan revisi PP 109. Beberapa poin revisi tersebut adalah memperluas ukuran gambar peringatan kesehatan dari 40 persen menjadi 90 persen, pelarangan bahan tambahan dan melarang total promosi dan iklan di berbagai media, dengan dalih adanya peningkatan prevalensi perokok anak. Hal tersebut dinilai sebagai akal-akalan kelompok anti tembakau dalam memaksakan pedoman-pedoman yang ada dalam FCTC.
Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI), Asosiasi Petani Cengkeh Indonesia (APCI), Liga Tembakau, Komite Nasional Pelestarian Kretek (KNPK), dan Aliansi Masyarakat Tembakau Indonesia (AMTI) dengan tegas menolak gagasan revisi PP 109 tersebut.
“Kami di sini sepakat bahwa PP 109 yang berlaku saat ini sudah sangat ketat sebagai payung hukum bagi IHT nasional dan seluruh mata rantai terlibat. Termasuk kepada petani, pekerja, dan pabrikan. Kami meminta agar rencana revisi PP 109 yang digagas Kemenkes dihentikan. Karena keputusan mereka tidak melibatkan pembahasan dari seluruh pemangku kepentingan,” kata Budidoyo, Ketua Aliansi Masyarakat Tembakau Indonesia (AMTI), dalam diskusi, di Jakarta, Rabu (20/11/2019).
Kemenkes dinilai tidak mempertimbangkan dampak dari usulan pasal-pasal yang digagasnya terhadap 6,1 juta tenaga kerja yang terlibat dalam industri asli Indonesia ini.
“Industri tembakau ini dari hulu ke hilirnya memberikan banyak lapangan pekerjaan, dan banyak keluarga menggantungkan hidupnya dari industri ini. Ketika Kemenkes merevisi PP 109, dampaknya tidak hanya dirasakan oleh 6,1 juta pekerja yang terlibat, tetapi juga oleh anggota keluarga mereka, kasarnya berdampak pada lebih dari 20 juta jiwa,” tambah Budidoyo.
Perlu menjadi catatan penting bahwa negara-negara besar seperti Amerika Serikat, Swiss, Maroko, dan Argentina tidak meratifikasi FCTC, melainkan menerapkan peraturan negara masing-masing untuk mengatur IHT-nya.
Indonesia pun telah memiliki pengaturan pengendalian tembakau sendiri yaitu PP 109 yang telah mencakup pasal-pasal terkait perlindungan kesehatan masyarakat sekaligus perlindungan anak dari rokok. Bahkan beberapa ketentuan dalam PP 109 sudah lebih ketat dibandingkan dengan FCTC.
Advertisement