Liputan6.com, Jakarta - Pada tahun 2012, seorang ekonom asal Peru baru saja diangkat menjadi Menteri Pendidikan di negaranya. Belum genap satu bulan ia menjabat sebagai menteri, muncul laporan internasional terkait kualitas belajar murid, yakni skor PISA.
Dalam laporan tersebut, posisi Peru berada satu peringkat di bawah Indonesia. Saat itu, Indonesia ada di peringkat sebelum terakhir.
Sang menteri masih ingat saat itu mendadak negaranya langsung heboh membahas pendidikan. Berita soal pendidikan pun langsung muncul di halaman depan media cetak, padahal sebelumnya itu tidak pernah terjadi.
Advertisement
Baca Juga
Lantas apa yang terjadi? Sang menteri menolak untuk menyalahkan pemerintahan sebelumnya atau marah ke penyelenggara skor PISA. Ia tetap fokus untuk meningkatkan sistem pendidikan, sebab ia percaya pendidikan adalah kunci agar negara bisa makmur.
Sosok menteri itu adalah Jaime Saveedra. Kini, ia sudah bukan lagi menjadi menteri, melainkan menjabat sebagai Direktur Global Bank Dunia di Bidang Pendidikan.
Liputan6.com berkesempatan berbincang dengan Jaime Saveedra yang sedang berada di Jakarta. Ia berkunjung dalam rangka peluncuran laporan Learning Poverty yang disusun Bank Dunia, serta bertemu dengan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan yang baru, Nadiem Makarim.Â
Dalam perbincangan selama 50 menit, Saveedra membahas soal pendidikan di berbagai negara.
Ada negara yang 97 persen anak-anak berusia 10 tahunnya belum bisa membaca dengan benar. Ada negara yang berhasil meluncurkan roket, tetapi masih ada komunitas di negaranya yang buta huruf. Ada pula negara yang mengklaim punya perpustakaan tertinggi di dunia tetapi skor membacanya rendah.
Ia pun mengingatkan agar jangan sampai ada anak berbakat yang tidak bersekolah akibat terjerat kemiskinan. Sebab, bakat bisa ditemukan di segala tempat, termasuk di desa yang termiskin.
Dan berikut isi wawancara Liputan6.com bersama Direktur Global Bank Dunia di Bidang Pendidikan Jaime Saveedra di Kantor Bank Dunia, Jakarta:
Â
Saksikan Video Pilihan Berikut Ini.
Apakah Anggaran Pendidikan di Indonesia Sudah Cukup?
Ketika Presiden Peru bertanya kepada Anda mengenai apa yang terpenting dari suatu negara, jawaban Anda bukanlah investasi, jawaban Anda bukanlah bisnis, Anda menjawab pendidikan.
Anda menyebut pendidikan menentukan apakah suatu negara akan sejahtera atau tidak. Indonesia sendiri memiliki anggaran pendidikan sebesar Rp 508 triliun, setara USD 36 miliar. Apakah itu berarti sudah bagus? Bagaimana anggaran kami jika dibandingkan negara-negara lain?
Beberapa tahun sebelum diangkat menjadi Menteri Pendidikan saya sempat ada percakapan dengan Presiden (Ollanta) Humala. Saya waktu itu sudah bekerja di Bank Dunia. Dan ia bertanya, "Jadi kalian bekerja di Bank Dunia, lalu apa yang harus saya lakukan? Apa hal yang paling penting?"
Dan waktu itu percakapannya bersama beliau dan Menteri Keuangan. Maka saya bilang posisi yang paling penting di suatu negara, selain Menteri Keuangan, soalnya menterinya duduk di sana, adalah Menteri Pendidikan.
Sebab pada dasarnya yang menentukan apa suatu negara berhasil atau tidak, dan apa yang menentukan masa depan suatu negara, adalah jika negara itu mengelola investasi mereka di pendidikan secara serius.
Selain itu, mereka harus menginternalisasikan dan memiliki komitmen politik, finansial, dan institusional yang benar dalam pendidikan. Jika demikian, maka negara itu akan berhasil. Jika tidak, negara itu hanya akan bertumbuh sedikit. Kamu bisa-bisa terus menjadi negara berpendapatan bawah-menengah (low-middle income countries), mungkin pendapatan menengah, dan tak akan menjadi negara kaya.
Sebab pada dasarnya yang menentukan apa suatu negara berhasil atau tidak, apa yang menentukan masa depan suatu negara, adalah jika negara itu mengelola investasi mereka di pendidikan secara serius.
Saya pikir itu berlaku bagi banyak negara yang berada dalam jalan pertumbuhan, termasuk Indonesia. Banyak negara seperti ini yang harus memiliki komitmen politik, finansial, dan institusional kepada pendidikan.
Jadi dalam menjawab pertanyaanmu dalam satu sisi uang itu penting. Uang diperlukan. Segalanya tidak muncul secara gratis.
Tetapi bukan masalah uang saja, melainkan uang disertai oleh komitmen politik untuk membuat reformasi-reformasi yang benar. Uang yang disertai dengan kapasitas implementasi oleh seluruh sistem untuk menggunakan uang itu secara efektif.
Jadi untuk kasus Indonesia, sumber daya sudah dikhususkan bagi pendidikan, yakni 20 persen anggaran dipakai untuk pendidikan. Itu merupakan sinyal menarik terhadap pentingnya pendidikan bagi negara ini.
Saya pikir langkah pertama adalah memastikan uang itu dibelanjakan secara efektif. Namun, saya pikir bagi saya indikator terbaik bukanlah soal berapa alokasi dana pendidikan pada anggaran atau GDP (Gross Domestic Product). Pertanyaannya adalah seberapa besar pemakaian anggaran itu untuk tiap peserta didik. Itulah yang penting. Â
Jadi di mana kita harus menambah belanja anggarannya? Apakah di EdTech (Educational Technology), atau kepada para guru, atau infrastruktur?
Mungkin jawabannya adalah kepada semua hal itu. Maksud saya tidak perlu fokus investasi pada satu hal, tetapi yang penting adalah bagaimana faktor-faktor yang berbeda dalam dipadukan dengan cara efektif.
Terkadang ada orang yang bilang bahwa EdTech merupakan solusinya. Dan jawabannya adalah EdTech bisa saja menjadi bagian dari solusi. Teknologi tidak akan menjadi satu-satunya yang menyelesaikan masalah. Â
Jadi jangan bilang, oke kita berikan tablet ke semua anak, lalu masukan video-video Khan Academy, lalu anak-anak akan belajar sendiri. Tidak. Caranya bukan begitu.
 Uang diperlukan. Segalanya tidak muncul secara gratis. Tetapi bukan masalah uang saja, melainkan uang disertai oleh komitmen politik untuk membuat reformasi-reformasi yang benar.
Teknologi itu penting tetapi bukan tongkat sihir. Teknologi adalah satu faktor yang bisa melengkapi guru dengan sangat efektif, sehingga pembelajaran bisa makin cepat. Tetapi kamu butuh teknologi yang dikombinasikan dengan guru yang bisa memakai teknologi. Maka teknologi bisa menjadi pelengkap yang fantastis dan luar biasa bagi pekerjaan guru.
Jadi jika kamu menyebut "apakah hanya teknologi?" Tidak. Kita harus berinvestasi di teknologi tetapi dalam waktu yang sama kita juga harus berinvestasi untuk memastikan agar guru-guru tersebut punya pelatihan yang tepat agar memakai teknologi secara efektif. Itu lah mengapa harus ada kombinasi dari faktor-faktor berbeda.
Laporan pendidikan Bank Dunia juga membahas soal melibatkan sektor swasta. Sebetulnya hal itu sejalan dengan pemerintah, karena pemerintah tengah mendukung Public Private Partnership (PPP). Namun, kebanyakan hal tersebut adalah untuk infrastruktur. Lantas bagaimana untuk pendidikan? Apa yang pihak swasta harus lakukan?
Ada beberapa peran potensial bagi sektor swasta di pendidikan. Dalam satu sisi, sektor swasta bisa menjadi elemen yang sangat dinamis dalam hal inovasi, contohnya, pada teknologi yang tadi kamu bahas. Jadi ada banyak software dan inovasi baru buatan sektor swasta yang membuat mengajar lebih efektif serta berdampak lebih pada proses pembelajaran.
Teknologi itu penting tetapi bukan tongkat sihir.
Kita memiliki industri yang besar di bidang software pendidikan, yang mana itu sangat menarik untuk digunakan oleh berbagai negara. Jadi ada sumber inovasi di sana. Di berbagai negara pun pihak swasta memberi banyak masukan-masukan kritis bagi dunia pendidikan.Â
Advertisement
Nasib Sekolah Vokasi
Laporan Bank Dunia Anda sangat menarik karena membahas mulai dari Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) sampai sekolah vokasi. Mari membahas sekolah vokasi dahulu.
Di Indonesia sekolah vokasi masih agak tertinggal karena sebagian orang tak mau bersekolah di sana. Mereka masih lebih suka sekolah biasa, tetapi belakangan ini pemerintah memiliki program Link & Match sehingga murid sekolah vokasi bisa dikirim ke perusahaan-perusahaan sebagai pekerja magang, bahkan mendapat upah. Apakah menurut Anda kita harus melakukan hal lebih lagi untuk sekolah kejuruan?
Secara umum, dunia pendidikan vokasi dan juga setelahnya pendidikan sekolah teknik haruslah dipandang sebagai jalur yang valid. Jadi saya pikir pendidikan vokasi di level sekunder (sekolah menengah) haruslah dididik agar anak muda bisa melanjutkan ke pendidikan tersier (universitas).
Jadikan vokasi sebagai opsi yang membuka kemungkinan bagi mereka untuk masuk ke pasar tenaga kerja, tetapi berikan juga mereka opsi untuk lanjut ke pendidikan tersier. Jangan sampai vokasi menjadi tingkatan akhir jenjang pendidikan. Itulah hal yang pertama.
Dunia tidak boleh lagi memisahkan antara jalur reguler dan teknik. Jangan.
Yang kedua, jika kamu memilih jalur vokasi, maka jangan sampai jalur itu dilihat sebagai "sepupu miskin" dibandingkan universitas. Itulah kesalahan dari banyak negara. Orang pun jadi berpikir lebih baik mengambil jalur universitas dan jalur teknik tidaklah prestisius. Secara umum, pandangan itu salah.
Di lingkungan yang semakin kompetitif seperti sekarang, orang-orang akan terus belajar sepanjang hidup mereka. Sekarang bukan lagi kamu mengenyam pendidikan dan sekalinya masuk ke pasar tenaga kerja maka kamu tidak butuh pendidikan lagi. Dunia tidak akan lagi seperti itu, terutama bagi anak-anak muda.
Bagi anak muda pasti pada suatu titik akan kembali bersekolah dan proses belajar akan terus berlanjut, sehingga dunia tidak boleh lagi memisahkan antara jalur reguler dan teknik. Jangan.
Jika kamu memilih jalur vokasi, maka jangan sampai jalur itu dilihat sebagai "sepupu miskin" dibandingkan universitas. Itulah kesalahan dari banyak negara.
Bentuk sistem pendidikan yang baru dan modern adalah saat dua jalur itu saling terkait. Jadinya saat kamu berusia 18 tahun kamu bisa memilih ikut pelatihan vokasi maupun institut teknik, dan beberapa tahun kemudian kamu dapat kembali ke universitas atau mengambil kuliah pendek.
Jalanmu mungkin berbeda dari satu dan yang lain, maka dua sistem itu harus terintegrasi. Dan itulah tantangan bagi banyak negara di dunia.
Apa yang kita butuhkan adalah sistem pendidikan tersier yang benar-benar terintegrasi, dan tidak ada perbedaan antara dua dunia itu (regular dan teknik). Mereka harus saling terkait dan memberikan peluang belajar ke orang-orang sepanjang hidup mereka.
Bagi anak muda pasti pada suatu titik akan kembali bersekolah dan proses belajar akan terus berlanjut, sehingga dunia tidak boleh lagi memisahkan antara jalur reguler dan teknik. Jangan.
Ada satu universitas, Universitas Gadjah Mada, jadi bagi mahasiswa yang belajar jurusan S1 vokasi mereka bisa melanjutkan pendidikan ke jenjang master. Mereka baru saja memulai hal tersebut.
Kamu akan melihat hal-hal itu makin sering terjadi. Hal seperti itu mungkin yang kita kejar dalam skala global.
Peru, Pisa, dan Indonesia
Saya juga ingin berbicara tentang Peru karena Peru juga negara berkembang seperti Indonesia. Jadi ada persamaan-persamaan.Â
Dan di pemeringkatan internasional (PISA) Peru dan Indonesia biasanya berdekatan.
Saya ingin membahas PISA. Saya membaca blog Anda, dan ini yang Anda tulis: "Baru tiga minggu setelah menjadi Menteri Pendidikan Peru, saya dan tim saya mendapatkan hasil dari tes PISA pada tahun 2012. Peru berada di peringkat akhir. Bukan sebelum akhir, bukan 10 persen terbawah. Ada di Peringkat terakhir. Pendidikan, yang tak pernah menjadi headline di negara saya, muncul di halaman-halaman depan."
Dan Anda menyebut itu sebagai "PISA shock". Saya bisa memahami itu. Hal itu juga terjadi di Indonesia. Lantas apa yang Anda lakukan hari itu saat mendapat kabar negara Anda ada di peringkat akhir?
Ada banyak kemungkinan. Maksud saya, kita bisa saja menolak hasilnya, dan kita bisa saja mengatakan itu adalah tes internasional, itu dibuat oleh OECD (Organisation for Economic Co-operation and Development), itu tidak relevan dengan budaya Peru, atau pendidikan itu lebih dari sekadar membaca, sains, dan matematika, atau pendidikan harusnya integral jadi kita harus memiliki indikator yang melingkupi seluruh aspek pendidikan, sehingga hasilnya itu (PISA) tidak penting.Â
Jadi tinggalkan saja Pisa. Benar, kan? Seperti yang dilakukan beberapa negara. Ada beberapa negara yang meninggalkan PISA karena hasilnya jelek. Jadi India waktu itu meninggalkan PISA. Mereka mendapat hasil PISA mereka, lalu mereka hengkang dan mereka baru kembali bergabung lagi pada tahun 2021.
Setidaknya kini India akan kembali. Bolivia contohnya meninggalkan PISA dan tidak pernah bergabung lagi karena hasilnya buruk.Â
Jika kita ingin seperti yang kita targetkan yakni menjadi negara berpenghasilan menengah ke atas dan negara, maka ini (rendahnya skor PISA) adalah sinyal bahwa ada yang salah.
Hal lain yang bisa dijelaskan adalah Peru hasilnya sudah meningkat dalam skor PISA. Dan peningkatannya banyak, meskipun negara-negara lain peningkatannya lebih banyak dari Peru. Jadi peringkatnya meningkat, tetapi masih kurang.Â
Kita melakukan lebih baik dari sebelumnya. Tapi pada akhirnya siapa peduli jika kamu berhasil mendapatkan hasil lebih baik? Ini jelas sinyal bahwa Peru masih tidak sebaik seharusnya.Â
Itu adalah pelajaran utamanya, bahwa Peru masih belum sebaik seharusnya. Jika kita ingin seperti yang kita targetkan yakni menjadi negara berpenghasilan menengah ke atas dan negara, maka ini (rendahnya skor PISA) adalah sinyal bahwa ada yang salah.
Dan sebetulnya hikmah yang kita ambil adalah menyebut ini pada dasarnya bukan masalah beberapa tahun terakhir atau salah pemerintah sebelumnya. Ini adalah masalah yang terakumulasi dari 30 tahun terakhir ketika mengekspansi sistem.Â
Dan benar adanya bahwa Peru melakukan banyak ekspansi. Tingkat anak masuk sekolah meningkat, serta tahun pendidikan yang dijalankan, tetapi kualitasnya tidak meningkat. Kualitas tidak naik seperti naiknya tingkat anak yang masuk sekolah.
Dan yang saya katakan adalah kita tidak sedang bermasalah, tetapi kita ada di masalah yang dalam. Jadi mari kerja bersama dan kita harus memperbaiki sistemnya.Â
Dan anda berhasil melakukannyaÂ
Well, kita sudah memulainya, saya bisa mengatakan ada beberapa peningkatan. Tapi saya bilang itu seperti memanjat 1.000 meter, tetapi gunungnya 8.000 meter. Jadi, ada peningkatan tapi itu adalah sesuatu yang harus dilakukan secara persisten dan terus-menerus.
Advertisement
Learning Poverty
Dalam blog anda menuliskan soal Learning Poverty (kemiskinan belajar). Dalam laporan Bank Dunia, topik itu mencakup kemampuan membaca dan matematika, tetapi dalam blog Anda membahas spesifik soal kemampuan membaca.
Lalu Anda membuat Joint Effort dengan UNESCO untuk mengukur kemampuan membaca anak berusia 10 tahun. Dan dalam pengukuran itu negara Singapura mendapatkan skor 3 persen.Â
Learning Poverty adalah persentase of murid yang tidak bisa membaca. Jadi skor Singapura sangat rendah karena semua orang bisa membaca.Â
Dan skor Indonesia 35 persen.
Indonesia 35 persen. Jadi sekitar sepertiga anak yang berusia 10 tahun tidak bisa membaca atau memahami teks.Â
Negara-negara seperti Singapura, Irlandia, Norwegia mereka memiliki hasil luar biasa bagus, dan ada yang ingin kita tunjukan dari indikator tersebut.
Jadi bila kamu tidak dapat membaca, maka sulit bagimu untuk paham konsep fundamental dari matematika, humaniora, sains, kewarganegaraan, semua kemampuan sosial-emosional yang kamu perlukan.
Learning Poverty, pada dasarnya diartikan sebagai jumlah anak yang tidak bisa membaca, mencapai angka itu sebesar 53 persen untuk negara-negara berkembang. Di negara-negara penghasilan bawah dan menengah skornya 53 persen, jadi hampir setengah anak tidak bisa membaca, tetapi kita ingin menunjukan bahwa di beberapa negara Learning Poverty bisa mencapai nol.
Semua anak bisa membaca. Dan angka nol persen itu adalah yang kita harus kejar.Sama halnya seperti kita ingin memberantas stunting, serta memberantas kemiskinan ekstrim, kita harus memberantas Learning Poverty. Untuk memberantas Learning Poverty, setiap anak harus bisa membaca.
Sebuah negara seperti Singapura, seperti Norwegia, seperti Irlandia, mereka memiliki hasil single digit. Semua anak bisa membaca. Jadi hal tersebut bisa diwujudkan. Berbagai negara-negara bisa mengentaskan Learning Poverty.
Angka Learning Poverty lebih dari sepertiga di Indonesia. Skornya sekitar 45 persen di negara-negara Amerika Latin, skornya sekitar 80 persen di negara-negara Afrika. Jadi 80 persen anak tidak bisa membaca dengan benar. Dan banyak dari anak-anak itu yang bersekolah. Banyak yang tak sekolah, tapi mayoritas sekolah. Tetapi meski ada di sekolah mereka tak bisa membaca.
Dan angka di negara seperti Indonesia sayangnya masih tinggi terkait anak-anak yang walaubersekolah tetapi tidak mendapatkan skill fundamental yang mereka butuhkan.
India mengirim roketnya ke bulan dan pada saat yang sama di sana kamu bisa menemukan komunitas yang semuanya buta huruf
Ada banyak hal-hal penting dalam membaca, banyak sekali. Tetapi ada sesuatu yang menjadi syarat untuk yang lainnya. Jadi bila kamu tidak dapat membaca, maka sulit bagimu untuk paham konsep fundamental dari matematika, humaniora, sains, kewarganegaraan, semua kemampuan sosial-emosional yang kamu perlukan.
Anda lantas menuliskan, "Abad ke-21 eksis bersama abad ke-19."
Ya, itu terjadi di banyak negara. Metafora bahwa kita hidup di abad ke-19 bersama abad ke-21 karena ada banyak negara yang merupakan bagian dari masyarakat yang hidup di abad ke-21. India mengirim roketnya ke bulan dan pada saat yang sama di sana kamu bisa menemukan komunitas yang semuanya buta huruf, yang merupakan abad ke-19.
Dan ada negara seperti Niger yang angka Learning Poverty mencapai 97 persen. Jadi hampir semua anaknya tidak bisa membaca.
Jadi kadang kamu menemukan abad ke-19 dan abad ke-21 eksis bersama di satu negara, atau di negara bagian atau provinsi yang sama. Dan kita melihatnya di banyak sekali negara. Di negara seperti Brasil, China, India, Indonesia, ada orang-orang di abad ke-21 tetapi ada orang yang tak bisa membaca. Itulah yang tak bisa diterima.Â
Ada negara yang bisa mengentaskan Learning Poverty dan ada negara seperti Niger yang angka Learning Poverty mencapai 97 persen. Jadi hampir semua anaknya tidak bisa membaca.
Ironi Perpustakaan Tertinggi di Dunia
Jika Anda pergi ke daerah Monas, di dekatnya ada Perpustakaan Nasional, dan itu diklaim sebagai perpustakaan tertinggi di dunia.
Tetapi skor membaca kita di PISA salah satu yang terendah. Lalu apa yang salah? Apakah karena kita tidak punya cukup penulis? Apakah karena ini salah kurikulum? Apakah budayanya? Apa yang harus kita ubah?
Dalam satu sisi, membaca bukanlah ilmu sains bidang roket. Di sekolah yang bagus, kita tahu bagaimana rupanya, seperti gedungnya bagus, tapi kamu harus memastikan semua anak punya buku teks dan agar semua anak memiliki guru yang peduli dengan semua orang.Â
Jadi menurut saya itu kuncinya dan tantangan kunci Kita harus memastikan bahwa kita punya basic untuk semuanya. Dan basic untuk semuanya adalah semua orang harus punya bahan bacaan, harus punya buku teks, harus punya buku agar bisa membawa dan tiap anak harus bisa berinteraksi dengan guru yang peduli dengan seluruh penghuni kelas. Itulah elemen kritisnya.
Pekerjaanmu sebagai guru bukanlah mengajar. Tanggung jawabmu adalah memastikan semuanya belajar. Dan dua hal itu tidaklah sama.
Mereka yang bekerja di sistem pendidikan belum semua menginternalisasikan bahwa pekerjaan mereka adalah memastikan semua orang harus belajar. Itu pekerjaan mereka. Jadi jika kamu adalah guru atau kepala sekolah di sekolahmu, pekerjaanmu adalah memastikan semua 40 murid di kelasmu bisa belajar. Itu pekerjaanmu.
Pekerjaanmu sebagai guru bukanlah mengajar. Tanggung jawabmu adalah memastikan semuanya belajar. Dan dua hal itu tidaklah sama. Jadi saya seharusnya tidak hanya peduli pada lima atau sepuluh murid yang duduk di bangku depan.
Ada murid yang tanpa dorongan akan tertarik untuk belajar. Tetapi jangan hanya peduli pada murid-murid itu saja, kamu harus peduli pada seluruh kelas. Ada murid yang butuh lebih banyak stimulasi atau perhatian, anak anak itu terkadang punya kecepatan belajar yang lebih rendah, sebab tiap anak berbeda. Tetapi pekerjaanmu adalah memastikan semua murid belajar. Itulah hal kuncinya.
Advertisement
Jangan Sampai Anak Berbakat Tak Sekolah Akibat Miskin
Saya juga menyukai tulis Anda karena turut membahas implikasi moral dan memakai bahasa humanis. Anda menuliskan bahwa Learning Poverty tidak bisa diterima secara moral dan ekonomi. Secara moral tak bisa diterima karena jutaan anak-anak tertinggal serta tak bisa berpartisipasi dalam ekonomi yang semakin sejahtera dan kaya.
 Membahas soal kekayaan, kita memiliki ketimpangan kekayaan di negara ini, sehingga tidak semua orang bisa bersekolah di tempat yang bagi. Jadi bagaimana ketimpangan ini memberi dampak pada negara berkembang seperti Indonesia.
Kamu bisa menemukan bakat di desa termiskin, tetapi jika anak itu tidak memiliki opsi pendidikan yang bagus di desa tersebut, maka bakatnya tersia-siakan.
Poin kuncinya adalah semua orang harus punya akses ke pendidikan berkualitas bagus tanpa perlu bergantung pada pendapatan, pendapatan orang tua mereka. Sayangnya di dunia ini dan di negara seperti Indonesia, dan di negara-negara lainnya negara berkembang, pendidikanmu tergantung pada berapa sumber daya yang kamu miliki, berapa sumber daya keluargamu. Peluang pendidikan bergantung pada itu.
Itu adalah masalah, sebab bakat ada di segala tempat. Kamu bisa menemukan bakat di desa termiskin, tetapi jika anak itu tidak memiliki opsi pendidikan yang bagus di desa tersebut, maka bakatnya tersia-siakan.
Ketimpangan yang membuat setiap orang memiliki perbedaan peluang pendidikan adalah penghambat pertumbuhan suatu negara, karena negara akan tumbuh lebih cepat jika semua orang yang memiliki bakat memperoleh peluang. Dan bakat itu bisa di manapun, bisa saja di desa termiskin.
Jadi poin kunci untuk negara adalah memastikan semua orang mendapat pendidikan tanpa dipengaruhi gender, ras, komunitas, pendapatan orang tua, atau level pendidikan orang tua. Untuk mengurangi ketimpangan peluang (inequality of opportunity) kita harus memastikan faktor-faktor tersebut tak punya dampak ke askes pendidikan.
Harusnya tak ada kesinambungan antara pendapatan dan level pendidikan orang tua dengan pendidikanmu sendiri. Itulah artinya kesuksesan. Kita melihat sistem sukses ini di Singapura, atau Denmark, atau Finlandia. Sebetulnya obsesi mereka adalah membuat semua kalangan mendapat kualitas pendidikan yang sama.
(Artikel bersambung ke bagian dua yang membahas soal karakter dan sistem pendidikan Finlandia)