Liputan6.com, Jakarta - Direktur Potensi, Kepatuhan, dan Penerimaan (PKP) DJP, Kementerian Keuangan Yon Arsal mengatakan, kekurangan penerimaan pajak atau shortfall pada 2019 akan melebihi Rp 140 triliun.
Kehilangan penerimaan tersebut disebabkan kondisi ekonomi yang tengah lesu.
"Kalau melihatnya sih, artinya dari laporan semester I saja kita sudah lebih besar dari tahun lalu. Tahun lalu shortfall di kisaran Rp 110 triliun, sementara di evaluasi semester I, Ibu (Sri Mulyani) menyampaikan waktu itu Rp 140 triliun, itu saja lebih besar," ujarnya di Kawasan Senayan, Jakarta, Senin (25/11).
Advertisement
Baca Juga
Yon mengatakan, sampai dengan Oktober 2019 baru terkumpul Rp 1.018,47 triliun atau 64,56 persen dari target APBN tahun ini sebesar Rp1.577 triliun. Penerimaan tersebut tumbuh 0,23 persen (yoy) jika dibandingkan dengan tahun lalu yang tumbuh 16 persen.
Namun demikian, DJP memastikan tidak ada langkah eksesif yang akan dilakukan untuk mengejar target penerimaan pajak. Usaha ekstra yang dilakukan oleh otoritas akan dilandaskan basis data yang kuat, sehingga tidak menimbulkan kegaduhan baru hingga akhir tahun.
"Segala macam upaya itu kita lakukan termasuk extra effort. Sepanjang upaya tersebut dilakukan dengan prudent, data valid dan tidak terabas kanan kiri. Sampai dengan September ini extra effort itu sudah sekitar Rp 120 triliun," tandasnya.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Ini 3 Penyebab Penerimaan Pajak Baru Capai 64 Persen
Kementerian Keuangan mencatat realisasi penerimaan pajak mencapai Rp1.018,47 triliun hingga Oktober 2019 atau 64,56 persen dari target APBN tahun ini sebesar Rp1.577 triliun. Penerimaan tersebut tumbuh 0,23 persen (yoy) jika dibandingkan dengan tahun lalu.
Direktur Potensi, Kepatuhan, Penerimaan Pajak DJP Kementerian Keuangan Yon Arsal, membeberkan tiga faktor penyebab penerimaan melambat tahun ini. Pertama, akibat restitusi atau pengembalian pajak yang dipercepat.
"Ada tiga faktor utama yang menyebabkan kita masih berada pada pertumbuhan yang relatif kecil ini. Penyebab pertama, restitusi yang meningkat sangat signifikan. Ini memang sudah kita prediksi dari awal," ujarnya di Kawasan Senayan, Jakarta, Senin (25/11).
Faktor kedua, kata Yon adalah faktor ekonomi yang melemah. Pada awal tahun hingga kini pelemahan ekonomi terlihat dari aktivitas ekspor impor yang menurun. Hal tersebut dipengaruhi oleh kondisi ekonomi global yang menurun.
"Kedua, kita berbicara faktor ekonomi yang memang sangat signifikan penurunannya. Di rapat preskon terakhir hari ini aktivitas ekspor impor yang menurun secara signifikan. Penerimaan PPN ekspor impor kita itu berkontribusi 18 persen dari penerimaan. Target pertumbuannya dari APBN-nya 23 persen Faktanya pertumbuhannya -7 persen," jelasnya.
Sementara itu, Faktor ketiga yang menyebabkan penerimaan pajak tertekan adalah harga komoditas yang menurun. Meski demikian, harga sawit kini mulai membaik tetapi dampaknya baru bisa dirasakan pada Desember mendatang.
"Ketiga, itu kita melihat adanya harga harga komoditas yang belum menunjukan perbaikan. Ada perbaikan harga komoditas sawit kemarin, ini baru bisa ditrasmisikan pada Desember atau mungkin baru tahun mendatang," jelas Yon.
Advertisement
Tetap Optimis
Yon menambahkan, pemerintah masih optimis penerimaan pajak mampu mendekati target. Sebab, masih ada peluang penerimaan dari PPh 21.
"Disamping adanya pelemahan, ada peluang positif di bulan November dan Desember. Peluangnya, dari jenis pajak, bahwa PPN 21 masih stabil di atas 10 persen," tandasnya.
Reporter: Anggun P. Situmorang
Sumber: Merdeka.com