Sukses

Para Ahli Kumpul Bahas Masa Depan Produksi Migas di Indonesia

Sebenarnya Indonesia memiliki potensi yang besar dalam migas

Liputan6.com, Yogyakarta Para pakar migas dan organisasi profesi Ikatan Ahli Geologi Indonesia (IAGI), Himpunan Ahli Geofisika Indonesia (HAGI), Ikatan Ahli Teknik Perminyakan Indonesia (IATMI), dan Ikatan Ahli Fasilitas Produksi Migas Indonesia (IAFMI) berkumpul di Yogyakarta selama empat hari, 25 sampai 28 November 2019.

Dengan pengalamannya masing-masing, mereka akan berdiskusi dan memberi masukan untuk kemajuan produksi migas di Indonesia.

Joint Convention Yogyakarta (JCY) 2019 adalah pertemuan rutin dua tahunan yang mengangkat isu aktual tentang perkembangan migas di Indonesia.

Pada tahun ini, JCY mengangkat tema Toward Massive Exploration and Maximizing Undeveloped Resources yang seiring dengan fakta beberapa tahun terakhir capaian produksi dan lifting di Indonesia relatif menurun.

Berdasarkan data per 30 Oktober 2019, Indonesia memproduksi minyak kurang lebih 748 juta barel minyak per hari dan 7,2 miliyar standar kaki kubik gas per hari. Hal ini menggambarkan penurunan kurang lebih lima persen ketimbang produksi tahun lalu.

“Sebenarnya Indonesia memiliki potensi yang besar dalam migas,” ujar Dwi Soetjipto, Kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas), seusai membuka JCY 2019 di Hotel Tentrem Yogyakarta, Selasa (26/11/2019).

Ia menyebutkan Indonesia memiliki 128 cekungan yang berpotensi memproduksi migas. Namun, baru 54 cekungan yang dieksplorasi. Oleh karena itu, SKK Migas memiliki pekerjaan rumah untuk memastikan target pembangunan produksi migas. Salah satunya, produksi minyak bisa kembali mencapai satu juta barrel per hari pada 2030.

Menurut Soetjipto, produksi minyak dan gas di Indonesia seimbang. Sebab, selama ini Indonesia mengimpor minyak dan mengeskpor gas.

Potensi yang dimiliki Indonesia juga semakin besar dengan keberadaan Blok Masela yang bisa menambah produksi gas untuk LNG sebanyak 9,5 juta ton.

Tantangan yang dihadapi Indonesia saat ini adalah mencari investor-investor yang memiliki kekuatan finansial karena nafas untuk produksi migas harus panjang, Ia tidak menampik, kecenderungan harga minyak dunia yang mengalami penurunan membuat investor berpikir dan menghitung ulang.

“Ini tergantung bagaimana upaya kita mencipakan iklim investasi yang baik, sebenarnya dengan USD 20 miliar di Blok Masela membuktikan investasi migas di Indonesia menarik,” kata Soetjipto.

 

2 dari 2 halaman

Perlu Rencana Jangka Panjang

Soetjipto berpendapat Indonesia memerlukan rencana jangka panjang  untuk menyikapi kondisi migas akhir-akhir ini. Ia menyebutkan ada empat hal penting yang perlu menjadi rencana jangka panjang utama.

Pertama, menjaga produksi yang sudah ada sekarang. Dalam menjaga produksi, manajemen reservoir menjadi penting dan didukung dengan pengaktifan kembali sumur dan lapangan yang mati, inovasi dan terknologi terbaru, serta percepatan perpanjangan blok.

“Hal-hal itu dapat membantu tingkat produksi lebih stabil,” tuturnya.

Kedua, mengubah resources menjadi reserves. Tujuannya, untuk menekan natural decline rate dengan cara mempercepat produksi migas yang sudah ditemukan.

Ketiga, Enhance Oil Recovery (EOR). EOR sudah dapat dilakukan di lapangan-lapangan yang sudah tua. Biasanya, lapangan itu membutuhkan bantuan tambahan untuk dapat memproduksikan migasnya.

Keempat, ekplorasi. Strategi ini merupakan jangka paling panjang. Sebab, hasil eksplorasi baru bisa dirasakan beberaa tahun mendatang.

“Dengan penemuan-penemuan eksplorasi saat ini, artinya di beberapa tahun ke depan, kita pasti akan menikmati apa yang telah kita temukan di hari ini,” kata Soetjipto.

Kepala Badan Geologi Kemnterian ESDM, Rudy Suhendar. menambahkan 30 persen anggaran penerimaan negara diperoleh dari hasil migas. Selain menjadi sumber pasokan utama kebutuhan energi nasional, migas juga menjadi sumber pendapatan negara.

“Sehingga ada parameter khusus migas dalam penyusunan APBN,” ujarnya.