Sukses

Milenial Rela Bayar Listrik Lebih Mahal yang Berasal dari EBT

Banyaknya partisipasi warganet menunjukkan tingkat kepedulian yang cukup tinggi pada isu energi terbarukan.

Liputan6.com, Jakarta - Keinginan masyarakat untuk beralih ke energi baru dan terbarukan (EBT) sangat besar. Mereka bahkan rela membayar listrik lebih mahal bila bersumberdari energi yang bersih.

Secara spesifik, matahari dan bioenergi menjadi sumber EBT yang paling banyak dipilih dibandingkan energi terbarukan lainnya. Kesimpulan itu didapatkan dari hasil survei yang dilakukan oleh Koaksi Indonesia.

Sementara survei yang dilakukan IESR di rumah tangga di Jabodetabek danSurabaya juga memberikan hasil, masyarakat menerima serta bersedia untuk melakukan pembelian listrik EBT, terutama solar cell, jika memang tersedia danmudah didapatkan.

Survei yang dilakukan Koaksi terhadap 96.651 warganet beberapa waktu lalu mendapatkan data, sebanyak 23,8 persen responden memilih matahari sebagaisumber energi terbarukan dan 22,4 persen memilih bioenergi.

Survei dilakukan melalui platform Change.org selama 40 hari selama Mei-Juli lalu dan disebarkan lewat surat elektronik, media social, dan platform percakapan. Survei tersebut menjangkau pengguna internet di 34 provinsi di Indonesia.

Menurut Direktur Eksekutif Koaksi Indonesia Nuly Nazlia, banyaknya partisipasi warganet menunjukkan tingkat kepedulian yang cukup tinggi pada isu energi terbarukan.

“Dan keinginan mereka untuk beralih ke energi terbarukan juga sangat besar. Bahkan 36,5 persen responden rela membayar listrik lebih mahal bila bersumberdari energi yang bersih,” kata dia dalam keterangan tertulis di Jakarta, Selasa (26/11/2019).

Senada dengan itu, survei terbaru mengenai rooftop solar yang dilakukan Institutefor Essential Services Reform (IESR) di Surabaya tahun ini serta di Jabodetabektahun lalu, juga mendapatkan data bahwa mayoritas rumah tangga yang disurveimengarah kepada ketertarikan terhadap penggunaan EBT terutama energimatahari.

“Dari hasil survei IESR terbaru, kami mendapatkan insight bahwa merekamemang mau dan ada keinginan serta menerima penggunaan EBT terutama solar cell. Dan mereka juga menyatakan mau membeli atau membayar kalau disediakan,” tutur Koordinator Komunikasi IESR Gandahaskara Saputra.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

2 dari 2 halaman

Milenial Penentu Masa Depan EBT Indonesia

Menurut milenial, begitu terungkap dari hasil survei Koaksi, EBT penting diadakansebagai bentuk menjaga lingkungan karena jenis sumber energi ini ramahlingkungan, bebas polusi dan tidak merusak alam. Sebanyak 67,6 persen warganet responden Koaksi berada pada rentang usia 17 sampai 30 tahun, dengan 50,6 persen berjenis kelamin laki-laki dan 49,4 persen berjenis kelamin perempuan.

Mayoritas responden (61,8 persen) tinggal di kota besar,seperti DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Banten. Dari level pendidikan, mayoritas lulusan sekolah menengah atas/kejuruan (46 persen) danuniversitas (36,8 persen).

Koaksi sengaja mengarahkan target survei kepada anak muda karena jumlahmereka diperkirakan akan mencapai 70 persen populasi pada 2030. Mempertimbangkan bonus demografi yang akan menempatkan mereka sebagaiasset, Koaksi memandang segmen ini memiliki potensi besar untuk berperan aktifdalam gerakan penggunaan EBT di Indonesia.

“Bukan cuma kami yang perlu, sector lain termasuk PLN juga terkait dengansegmen ini karena selain menjadi audiens, mereka juga bisa menjadi stakeholdermasa depan.

Milenial, lanjut Nuly tidak hanya akan menjadi konsumen seterusnya. Padawaktunya, mereka berada pada berbagai posisi menentukan seperti pengusaha, pelaku industry bahkan pemangku kebijakan.

“Jadi ada big opportunity di manamereka bisa berperan dalam green job,”tambahnya lagi.

Menurutnya, hal ini mejadi semakin penting terkait komitmen PLN yang sudahmenyatakan mendukung transisi energi lebih besar, dan sejalan dengankomitmen Paris Agreement dalam upaya penurunan emisi.

Secara khusus, Nuly mengajak seluruh pemangku kepentingan di bidang energi untuk berkolaborasi menggapai anak muda yang lebih luas dan bersama-sama terlibat dalam upaya penyadaran.

“Suara dari kelompok masyarakat produktif akan mendorong terjadinyaperubahan, termasuk yang diharapkan di tingkat pengambil kebijakan untuk memenuhi target bauran energi terbarukan sebesar 23 persen dari bauran energinasional pada tahun 2025,” pungkasnya.