Liputan6.com, Jakarta - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat hingga akhir Oktober 2019 penyaluran kredit perbankan hanya mengalami peningkatan sebesar 6,53 persen secara year on year (yoy). Capaian jauh dari target yang dipatok OJK yakni di kisaran 9 persen hingga 11 persen yoy.
Angka tersebut juga menunjukkan bahwa pertumbuhan kredit semakin melambat bila dibandingkan dengan September 2019 yang berada di level 8 persen dan Agustus 2019 di level 8,7 persen.
Baca Juga
Deputi Komisioner Pengawas Perbankan III OJK Slamet Edy Purnomo mengatakan, melambatnya pertumbuhan kredit disebabkan oleh turunnya penyaluran kredit di sektor pertambangan dan konstruksi. Pertumbuhan kredit sektor pertambangan per Oktober minus 4 persen.
Advertisement
"Pertumbuhan kredit sektoral yang paling dalam turun itu pertambangan. Dia pertambangan turun sekitar Rp 5 triliun turunnya sekitar -4 persen," urai dia, di Jakarta, Jumat (29/11/2019).
Dia mengatakan, kesiapan infrastruktur transportasi juga menjadi faktor berpengaruh pada kinerja pertambangan. Sehingga meskipun mulai ada peningkatan harga baru bara, tapi jika transportasi tidak siap, maka akan menghambat kinerja pertambangan.
"Karena suply chain pertambangan seperti transportasi di hilir itu masih belum bangkit. Walaupun harga misalnya batu bara naik, tapi transportasinya terganggu juga tidak bisa ekspor atau produksinya," tandasnya.
Reporter: Wilfridus Setu Embu
Sumber: Merdeka.com
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Pertumbuhan Kredit Melambat, Ini Kata Bank Indonesia
Sebelumnya, Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia (BI) pada 20-21 November 2019 memutuskan untuk mempertahankan BI 7-Day Reverse Repo Rate (BI7DRR) sebesar 5 persen.
Serta suku bunga Deposit Facility sebesar 4,25 persen, dan suku bunga Lending Facility sebesar 5,75 persen.
Gubernur BI, Perry Warjiyo mengatakan, stabilitas sistem keuangan tetap terjaga, namun fungsi intermediasi perbankan kini menjadi perhatian.
Tercatat, pertumbuhan kredit melambat dari 8,59 persen (yoy) pada Agustus 2019 menjadi 7,89 persen (yoy) pada September 2019, terutama dipengaruhi permintaan kredit korporasi yang belum kuat.
"Pembiayaan dari pasar modal dan utang luar negeri tetap tumbuh tapi tidak sekuat di tahun-tahun berikutnya. Korporasi saat ini masih menakar prospek ekonomi ke depan," tutur dia di Jakarta, pada Kamis 21 November 2019.
Perry menjelaskan, 55 persen dari kebutuhan pendanaan korporasi berasal dari laba ditahan (retained earnings). Kesimpulannya, korporasi masih tetap melakukan produksi meskipun menurun.
"Korporasi ini 47 persen merencanakan untuk investasi. Sedangkan 53 persen konsolidasi. Artinya mereka ingin melihat prospek ekonomi kedepan. Apakah jika mau nambah produksi atau investasi ini bisa memenuhi biaya kredit," jelas dia.
Pihaknya lantas mengajak agar perbankan maupun korporasi untuk tetap 'confident' terhadap prospek ekonomi Indonesia kedepannya.
"Ke depan prospek ekonomi kita akan membaik, kami telah menurunkan suku bunga acuan, GWM. Kami mengajak korporasi, perbankan untuk tetap confident," tegasnya.
Advertisement