Sukses

BRI Dukung Pemberdayaan Perempuan di Bidang Teknologi

BRI terus menunjukkan komitmennya dalam upaya mendukung inklusi financial dan inklusi ekonomi dengan memanfaatkan teknologi.

Liputan6.com, Jakarta - PT Bank Rakyat Indonesia (BRI) terus menunjukkan komitmennya dalam upaya mendukung inklusi financial dan inklusi ekonomi dengan memanfaatkan teknologi.

Salah satunya melalui keberadaan BRI Satellite (BRIsat) yang telah diluncurkan sejak 18 Juni 2016 lalu di Guyana Perancis. BRIsat menjadikan BRI sebagai bank pertama dan satu satunya di dunia yang memiliki dan mengoperasikan satelit sendiri.

Keberadaan satelit BRI ini menyediakan jaringan komunikasi untuk outlet BRI, ATM, hingga Agen BRILink di seluruh pelosok tanah air. Sebanyak lima puluh empat Transponder Equivalent (TPE) satelit BRIsat telah digunakan untuk keperluan operasional Bank BRI untuk memberikan layanan di 17.700 wilayah termasuk di dalamnya empat TPE untuk pemerintah Indonesia.

Direktur Digital, Teknologi Informasi dan Operasi BRI Indra Utoyo mengungkapkan, satelit BRI mendorong penyamaan hak bagi seluruh rakyat Indonesia.

"Dengan satelit BRI mampu mengakses masyarakat Indonesia di segala penjuru untuk mendapatkan layanan keuangan. Finansial inklusi bisa terwujud untuk semua orang karena hadirnya satelit BRI,"papar dia dalam keterangan tertulis di Jakarta, Senin (2/12/2019).

Tidak hanya itu, BRI juga mendorong pemberdayaan perempuan atau women empowerment di bidang teknologi. salah satu Spacecraft Operation and Engineering BRIsat adalah seorang perempuan muda bernama Pratiwi Kusumawardani. Perempuan 26 tahun ini bertugas menjaga supaya orbit satelit sesuai pada posisi yang seharusnya.

Baru-baru ini, alumnus program master teknik penerbangan Institut Teknologi Bandung (ITB) ini mengharumkan nama Indonesia dan BRI dalam program International Visitor Leadership Programme (IVLP) #HiddenNoMore Women In Science Technology Engineering and Math (STEM). Pratiwi terpilih mewakili Indonesia bersama 49 perempuan lainnya dari 49 negara. Yang menarik, pemilihan kandidat program ini sepenuhnya dilakukan oleh pemerintah Amerika Serikat (AS).

“Jadi ini program pemerintah AS untuk 50 peserta dari berbagai negara. Satu negara satu orang. Mereka sendiri yang mencari kandidatnya. Jadi saya tidak apply, tapi tiba-tiba dihubungi pihak US Embassy untuk mengikuti proses selanjutnya. Karena kandidatnya tidak Cuma saya,”jelas alumnus jurusan astronomi ITB tersebut.

Ternyata, Pratiwi yang terpilih mewakili Indonesia mengikuti program yang berlangsung dari 28 Oktober-15 November 2019 tersebut. Yang menarik, dari 50 negara peserta, dia tergolong yang termuda.

“Jadi waktu sampai di sana kaget, karena kebanyakan sudah berusia 30 ke atas. Cuma tiga peserta yang usianya sebaya dengan saya,”katanya.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

2 dari 2 halaman

Ikut Workshop di Berbagai Kota

Dalam waktu sekitar tiga minggu, dia mengikuti serta berpartisipasi dalam berbagai workshop yang dilakukan di empat kota di empat negara bagian. Yakni, Washington DC, Huntsville, Chicago dan Los Angeles.

Selama berada di keempat kota tersebut, perempuan kelahiran Garut, 10 September 1993 itu mengunjungi berbagai tempat yang terkait dengan bidang yang digelutinya, space atau luar angkasa.

Diantaranya, Director, Earth Science Division National Aeronautics and Space Administration (NASA), Smithsonian National Air and Space Museum Steven F. Udvar-Hazy Center, Johns Hopkins University Applied Physics Laboratory (APL), US Space & Rocket Center (Visitor NASA Center), NASA Marshall Space Flight Center, California Institute of Technology hingga Disney Inovation Lab.

Di sejumlah lokasi tersebut, Pratiwi tidak sekedar berkunjung melainkan juga beberapa kali menjadi panelis dalam acara diskusi dan sharing session dengan beberapa direktur NASA. Menurut dia, acara sharing session ini cukup berkesan.

“Kita bahkan ketemu beberapa direktur NASA, kita duduk bareng dan membahas permasalahan apa saja yang terjadi di negara kita. Dan kita bisa duduk diskusi sedekat itu, satu meja tanpa jarak. Bagi saya pengalaman poistif ini bisa dibawa pulang ke Indonesia,”jelasnya.

Perempuan berjilbab tersebut menuturkan, program tersebut memang bertujuan mengeksplorasi praktik terbaik melalui sejumlah pelatihan, dan pengembangan, untuk perempuan yang kurang terwakili di STEM.

“Sehingga nantinya kita diharapkan belajar bagaimana kita dapat melembagakan peluang bagi perempuan di negara kita sendiri,”jelasnya.

Pratiwi sendiri bergabung dengan BRI sejak dua tahun lalu, melalui jalur rekrutmen professional hired (prohire). Sesuai dengan posisinya, lingkungan kerjanya didominasi kaum pria. Namun dia mengaku nyaman bekerja di sana. Apalagi pekerjaannya saat ini adalah passionnya sejak lama.

Di sisi lain, BRI juga memberikan ruang baginya untuk berkembang sesuai potensi yang dimilikinya. “Menurut saya, dengan saya diperbolehkan mengikuti program ini yang lamanya sampai tiga minggu, ini sudah merupakan bentuk support yang besar dari BRI,”jelasnya.

Pratiwi pun mengisahkan, awalnya kedua orang tuanya tidak mendukung pilihannya untuk kuliah di jurusan Astronomi maupun Teknik Penerbangan untuk program masternya.

Dia memaklumi jika orang tuanya mungkin khawatir dengan masa depannya. “Karena kan mereka berpikir mau kerja apa nanti kalau kuliah di jurusan-jurusan itu. Tapi ya namanya sudah suka, setelah saya jalani, semakin ke sini, mereka makin bangga dengan saya,”katanya.

Sementara itu, selain menjadi karyawan BRI, Pratiwi ternyata juga telah mengagas start up bernama spaceid yang menggaungkan awareness terkait pendidikan terkait luar angkasa di Indonesia. Ternyata spaceid sudah beberapa kali melakukan sosialisasi di sejumlah sekolah, bahkan sampai ke daerah-daerah terpencil.

“Karena menurut penelitian, banyak anak-anak perempuan itu sebenarnya tertarik dengan STEM subject di usia 11 tahun, tapi mereka mulai kehilangan minatnya di usia 16 tahun ke atas. Sehingga, awareness terkait space education ini cukup penting,”papar CEO spaceid ini.