Liputan6.com, Jakarta - Program Lingkungan Perserikatan Bangsa-Bangsa atau United Nations Environment Programme (UNEP) mengeluarkan data terbaru yang menyatakan luasan hutan dan lahan terbakar pada tujuh provinsi di Indonesia selama Januari-Oktober 2019 mencapai 1,64 juta hektar.
Dari luasan tersebut sekitar 76 persen karhutla terjadi di lahan terlantar. Data itu mengungkapkan hanya 3 persen kebakaran terjadi di lahan pertanian kelapa sawit.
Begitu juga kebakaran di kawasan hutan mencapai 3 persen dari total keseluruhan area. Diperkirakan, pada 1 Januari hingga 31 Oktober 2019 sekitar 60 persen hektare hutan terkena dampak kebakaran dan sebagian berada di lahan gambut.
Advertisement
Menanggapi laporan itu, Pengamat Kehutanan dan Lingkungan Hidup Sudarsono Soedomo mengatakan, konsesi tidak produktif seperti kawasan terlantar yang tidak dibebani izin, punya potensi karhutla tinggi.Hal ini, berbeda dengan kawasan yang dibebani izin seperti perkebunan sawit.
Baca Juga
”Kemungkinan suatu kawasan produktif seperti perkebunan sawit dan Hutan Tanaman Industri terbakar dan punya banyak hotspot kecil,” kata Sudarsono di Jakarta, Jumat (6/12/2019).
Karena itu, kata Sudarsono, untuk memperkecil potensi karhutla, para pemegang konsesi termasuk pemerintah wajib dibebani tanggung jawab termasuk pemberlakukan tanggung jawab mutlak jika konsesinya terbakar.
“Cara pencegahan ini lebih efektif dibandingkan penanggulangan jika sudah terjadi kebakaran," ungkap dia.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Ganti Rugi Dipersoalkan
Sudarsono menambahkan, banyak hal yang perlu dicermati dan bisa diperdebatkan dalam Permen LHK No 7 tahun 2014 terkait metode penghitungan besaran ganti rugi dan biaya pemulihan.Hal ini karena sejumlah aturan dalam regulasi tersebut memberlakukan penghitungan ganda (double counting) bahkan multiple counting.
Menurut Sudarsono, Penghitungan ganda misalnya terjadi pada penghitungan ekosistem dan biodiversity serta carbon indeed dan carbon loss. Dalam penghitungan hilang peluang ekonomi (economic losses) juga terjadi double counting. Permen tersebutnya memisahkan antara pendapatan dan keuntungan. Padahal, logikanya keuntungan merupakan bagian dari pendapatan.
“Penghitungan ganda berakibat pada nilai ganti rugi atas gugatan secara perdata yang nilainya fantastis Rp 315 triliun atau jika dirata-rata sebesar Rp 300 juta per hektar. Padahal sejumlah kajian hanya menghitung nilai ganti rugi dalam kisaran Rp 10 juta hingga Rp 20 juta per hektar.
Jika regulasi itu dipaksakan, potensi kebangkrutan investasi berbasis sumber saya alam seperti perkebunan sawit dan hutan Tanaman Industri (HTI) sangat besar karena tidak mampu membayar.
“Jika KLHK yakin bahwa angka fantastis gugatan bisa bisa dipertanggungjawabkan, sebaiknya nilai tersebut diajukan ke Uni Eropa sebagai kompensasi untuk untuk menjaga kawasan hutan dari karhutla,” kata Sudarsono.
Advertisement