Sukses

Industri Garmen Belum Siap Hadapi Revolusi Industri 4.0

LIPI) dalam hasil penelitiannya menyebutkan bahwa industri garmen Indonesia belum siap menuju revolusi industri 4.0.

Liputan6.com, Jakarta - Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dalam hasil penelitiannya menyebutkan bahwa industri garmen Indonesia belum siap menuju revolusi industri 4.0.

Hal itu disampaikan oleh Peneliti Pusat Penelitian Kebijakan dan Managemen Iptek dan Inovasi LIPI, Wati Hermawati, di Jakarta, Kamis (12/12/2019).

Dari hasil penelitian, posisi industri garmen Indonesia berada pada nilai terendah dalam rantai nilai global. Selain itu kemampuan disain dan inovasi juga masih minim.

"Status kondisi dari garmen nasional memang digiring ke arah industri 4.0, tapi kami melihat statusnya saat ini belum ada upaya untuk ke arah sana," kata Wati.

Namun, pihaknya menyadari, diperlukan upaya yang besar karena ekosistem belum mendukung mereka untuk berinovasi bisa menghasilkan produk bernilai tinggi.

Ditambahkannya, mayoritas pelaku industri garmen nasional beroperasi atas dasar pesanan dan pembeli global. Dengan demikian menyebabkan bahan baku dalam negeri belum terbangun dengan baik.

"Maka kami mengusulkan agar rantai pasokan dalam negeri perlu kita bangun," ujarnya.

 

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

2 dari 3 halaman

Pengembangan Inovasi Masih Minim

Menurutnya, industri garmen atau tekstil belum terintegrasi antara industri dengan lembaga penelitiannya.

Karena itu pihaknya mengusulkan juga agar industri garmen menjadi prioritas. Untuk itu industri garmen harus masuk ke dalam salah satu program The Making Indonesia 4.0.

Meskipun ada kendala utama yakni ekosistem inovasi garmen Indonesia berada dititik terendah dalam rantai nilai global.

 

3 dari 3 halaman

Peningkatan SDM

Usulan tambahan Wati, industri garmen harus meningkatkan kualitas SDM untuk merespon kemajuan teknologi menuju industri garmen 4.0.

"Kalau hanya mengandalkan impor berlimpah dalam negeri, kita akan tetap tidak berkembang. Kita kalah dengan pesaing seperti dari vietnam yang menguasai 3,62 persen pasar dunia, Bangladesh kuasai 4,05 persen, sementara Indonesia hanya 1,56 persen," tutupnya.