Liputan6.com, Jakarta - Setelah terkatung-katung selama 3 tahun akhirnya permasalahan lahan yang tumpah tindih pada lokasi pembangunan pabrik kimia Lotte Chemical di area milik PT Krakatau Steel (Persero) Tbk menemui titik terang. Ditandai dengan adanya penandatangan nota kesepahaman atau MoU antar keduanya di Kantor Badan Koordinasi Penanaman Modal.
Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), Bahlil Lahadalia mengatakan pihaknya akan menyelesaikan permasalahan antar keduanya. Penyelesaian tersebut disebutkan menghasilkan kesepakatan win-win solution yang saling menguntungkan kedua perusahaan.
Baca Juga
"Persoalan Lotte. Investasinya USD 4,2 miliar. Persoalan ini sudah mangkrak hampir 3 tahun. Masalahnya persoalan tanah dan perizinan. Ketika kami masuk 14 hari petama, kerjaan kami adalah bagaimana selesaikan persoalan tanah ini," kata Bahlil di kantornya, Jakarta, Jumat (13/12).
Advertisement
Penandatanganan MoU kali ini sebagai tanda bahwa permasalahan lahan tersebut sudah selesai. "Persoalan tanah ini, Lotte mendirikan industrinya di atas HPL (hak pengelolaan) Krakatau Steel, dan sudah diselesaikan," ujarnya.
Adapun penandatanganan dilakukan oleh Dirut PT Lotte Chemical Indonesia Kim Yong Ho dan Direktur Utama PT Krakatau Steel Silmy Karim disaksikan oleh pihak Kejaksaan Agung RI.
"Hari ini hari di mana MoU yang akan jadi landasan hukum untuk penyelesaian masalah Lotte dan Krakatau Steel. Saya katakan ini akhir dari cerita yang tidak rugikan negara tapi juga tidak rugikan investornya, Lotte. Semua dapat untung," tutupnya.
Reporter: Yayu Agustini Rahayu
Sumber: Merdeka.com
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Lotte Chemical Bangun Pabrik Rp 49 Triliun di Banten Akhir 2018
Perusahaan industri petrokimia asal Korea Selatan, Lotte Chemical Titan akan melakukan peletakan batu pertama (groundbreaking) untuk pembangunan pabrik pada akhir 2018. Pabrik tersebut akan memproduksi nafta cracker.
Direktur Jenderal Industri Kimia, Tekstil, dan Aneka (IKTA) Kementerian Perindustrian Achmad Sigit Dwiwahjono mengatakan, dengan nilai investasi yang mencapai USD 3,5 miliar, pabrik ini diharapkan dapat mendukung pengurangan impor produk petrokimia hingga 60 persen.
Jika dihitung dengan asumsi kurs Rp 14.107 per dolar Amerika Serikat (AS), maka nilai investasi pabrik tersebut sekitar Rp 49,37 triliun.
“Nafta cracker selaku bahan baku petrokimia, kita memang kurang sehingga masih impor. Tetapi setelah ini produksi, bisa disubstitusi. Bahkan pabrik ini juga akan menghasilkan ethylene, propylene, dan produk turunan lainnya. Jadi, kita tidak akan impor lagi,” ujar Achmad dalam keterangan tertulisnya di Jakarta, Minggu (20/5/2018).
Menurut dia, proyek Lotte ini sejalan dengan upaya pemerintah Indonesia yang tengah memprioritaskan akselerasi pertumbuhan industri petrokimia karena memenuhi kebutuhan produksi di banyak sektor hilir.
Sigit menjelaskan, saat ini Lotte masih menyelesaikan proses perizinan terkait pembebasan lahan, pembangunan pelabuhan, dan pengurusan analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal).
“Tanah yang sudah tersedia sekarang seluas 100 hektare, tetapi mereka terus mencari tambahan karena area yang akan dibangun terintegrasi untuk menghasilkan bermacam-macam produk,” kata dia.
Dia menilai, masuknya investasi industri petrokimia di sektor hulu ini bisa menjadi solusi jangka panjang untuk meningkatkan produktivitas nasional, seiring berkembangnya pasar petrokimia di dalam negeri.
“Investasi industri upstream memang sangat besar dan harus terpadu dengan produk turunan, karena kalau berdiri sendiri tidak akan ekonomis, pasti gulung tikar,” kata dia.
Advertisement