Sukses

Upah Riil Buruh Tani Turun 0,05 Persen

Upah nominal harian buruh bangunan (tukang bukan mandor) pada November 2019 naik 0,01 persen.

Liputan6.com, Jakarta - Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Suhariyanto mengatakan, upah nominal harian buruh tani nasional pada November 2019 naik sebesar 0,25 persen dibanding upah buruh tani Oktober 2019.

"Upah nominal harian buruh tani nasional November naik 0,25 persen dibanding bulan sebelumnya. Angka ini naik dari Rp 54.515 menjadi Rp 54.650 per hari," ujar Suhariyanto di Kantor BPS, Jakarta, Senin (16/12/2019).

Sementara itu, upah riil buruh tani mengalami penurunan sebesar 0,05 persen. Upah riil buruh tani adalah perbandingan antara upah nominal buruh tani dengan indeks konsumsi rumah tangga perdesaan.

Suhariyanto melanjutkan, upah nominal harian buruh bangunan (tukang bukan mandor) pada November 2019 naik 0,01 persen dibanding upah Oktober 2019, yaitu dari Rp 89.072 menjadi Rp 89.081 per hari. Sedangkan, upah riil mengalami penurunan sebesar 0,13 persen.

"Upah nominal buruh adalah rata-rata upah harian yang diterima buruh sebagai balas jasa pekerjaan yang telah dilakukan. Upah riil buruh menggambarkan daya beli dari pendapatan yang diterima buruh," jelasnya.

Reporter: Anggun P. Situmorang

Sumber: Merdeka.com

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

2 dari 2 halaman

Buruh: Demi Tarik Investor Asing, Pemerintah Terapkan Upah Murah

Sebelumnya, Ketua Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia (KPBI) Ilham Syah menilai saat ini pemerintah Indonesia secara jelas menerapkan sistem politik upah buruh.

Politik upah buruh memungkinkan pengusaha menekan upah pekerja sekecil-kecilnya untuk menarik investor asing agar mau berinvestasi di Indonesia.

"Saya katakan, Indonesia ini terang-terangan pakai politik upah buruh. Artinya, upah pekerja ditekan sekecil-kecilnya supaya investor asing pada masuk ke Indonesia," tuturnya kepada Liputan6.com, Minggu (20/10/2019).

Ilham menambahkan, logika pemerintah Indonesia hanya berfokus pada penekanan upah buruh untuk mendatangkan investasi, padahal ada banyak faktor lain yang harus diperhatikan, seperti kondisi ekonomi (yang stabil atau tidak), ketersediaan lahan dan lainnya. 

"Terus, kalau banyak yang investasi pun, pejabatnya korupsi, lha, sama saja. Birokrasi dibuat bertele-tele. Selalu saja buruh yang jadi kambing hitam," ungkapnya.

Baru baru ini, pemerintah mengumumkan kenaikan upah minimum provinsi (UMP) sebesar 8,51 persen.

Hal tersebut tertuang dalam Surat Edaran (SE) Menteri Ketenagakerjaan Nomor B-m/308/HI.01.00/X/2019 tanggal 15 Oktober 2019 tentang Penyampaian Data Tingkat Inflasi Nasional dan Pertumbuhan Produk Domestik Bruto Tahun 2019.

Namun, hal tersebut ditolak oleh para buruh karena perhitungannya berdasarkan data inflasi dan kondisi ekonomi nasional, bukan berdasarkan survei kebutuhan hidup layak (KHL).

"Kan, kebutuhan hidup di tiap daerah berbeda. Masa mengandalkan data nasional? Jadi kami secara tegas menolak (kenaikan UMP)," tutup Ilham.