Sukses

Harga Emas Stabil Imbas Investor Belum Yakin Kesepakatan AS-China

Harga emas terpantau stabil dalan perdagangan Senin (16/12/2019).

Liputan6.com, Jakarta - Harga Emas stabil pada hari Senin. Hal ini karena dolar melemah dan investor mencari kejelasan tentang kesepakatan perdagangan 'fase satu' antara Amerika Serikat (AS) dan Cina.

Dikutip dari laman CNBC, Selasa (17/12/2019), harga emas di pasar spot gold naik 0,02 persen menjadi USD 1,475.85 per ounce. Harga emas sudah naik 1,1 persen minggu lalu ditengah dua ekonomi terbesar dunia itu bernegosiasi. Emas berjangka AS turun 0,07 persen menjadi USD 1.480,5 per ounce.

“Ini (kesepakatan dagang) tidak berarti segalanya menjadi lebih baik secara fundamental; itu pada dasarnya berarti mereka tidak akan mengalami pelambatan yang lebih dalam. Masih ada risiko," kata Bart Melek, kepala strategi komoditas di TD Securities.

"Kombinasi ekspektasi defisit (perdagangan) yang tinggi, suku bunga yang lebih rendah, dan risiko politik AS, semuanya mengarah pada investor yang masih ingin memiliki beberapa emas dalam portofolio mereka,. Hal ini mempengaruhi harga emas," tambahnya.

Washington dan Beijing meredam sengketa tarif mereka pekan lalu. Pengurangan beberapa tarif AS sebagai imbalan atas apa yang dikatakan pejabat AS akan menjadi lompatan besar dalam pembelian produk pertanian Amerika dan barang barang lainnya dari Tiongkok. 

 

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

2 dari 2 halaman

17 Bulan

Ini memperkuat sentimen, dengan Wall Street berhasil mencatat rekor tertinggi. Namun, kesepakatan awal yang banyak dinanti gagal memicu aksi jual tajam dalam emas.

"Pasar kurang memiliki keyakinan untuk mendorong emas batangan lebih rendah karena masih ada kekhawatiran tentang kesepakatan ini dan seberapa banyak perjanjian fase satu ini akan mengurangi tekanan ke bawah pada ekonomi global menuju tahun 2020," kata analis pasar FXTM Han Tan.

"Kekhawatiran keseluruhan ini masih menjaga harga emas relatif tinggi," tegasnya.

Perang dagang yang sudah terjadi selama 17 bulan telah memicu kekhawatiran perlambatan ekonomi global. Hal ini mendorong bank sentral utama untuk melonggarkan kebijakan moneter.