Liputan6.com, Jakarta Pemerintah menggugat Uni Eropa (Uni Eropa) ke Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) terkait kebijakan yang dianggap diskriminatif terhadap sawit Indonesia. Namun langkah ini dinilai cukup efektif oleh pengusaha.
Pengusaha yang tergabung dalam HIPMI mengusulkan agar Indonesia menghentikan pembelian sebanyak 313 pesawat komersil Airbus yang sudah dipesan kepada Prancis.
Advertisement
Baca Juga
“Kita usul gertak saja dengan menghentikan pesanan sebanyak 200 Airbus yang kita pesan ke Prancis,” ujar Ketua Umum BPP Hipmi Mardani H Maming di Jakarta, Rabu (18/12/2019).
Dia mengatakan, total pesanan pesawat Indonesia ke Airbus saat ini sebanyak 313 unit. Yang telah selesai dibuat mencapai 95 unit. Dengan rincian, Citilink sebanyak 25 unit, Garuda 58 unit, dan terbanyak oleh LionAir 230 unit. “Kita adalah pemborong pesawat terbesar di Airbus,” ujar Maming.
Dia mengatakan, meski memesan banyak pesawat dari Prancis, namun negara Napoleon ini tidak berbuat sesuatu yang dapat membantu penyelesaian masalah diskriminasi CPO Indonesia di Eropa. Padahal, suara Prancis sangat berpengaruh besar di parlemen Eropa. Sebab negara memiliki kursi terbanyak.
“Jadi, buat apa kita baik-baikan sama dia. Dia enggak bantu-bantu. Malah ikut ngompor-ngomporin CPO kita,” tambah dia.
Kontribusi pembelian pesawat Indonesia sangat besar dibandingkan ekspor sawit Indonesia ke Eropa. Diperkirakan pembelian pesawat ke Airbus mencapai USD 42,8 miliar atau sebesar Rp 599 triliun.
Sedangkan ekspor Sawit Indonesia tahun 2018 sebesar Rp 4 miliar hingga Rp 5 miliar. “Tidak sebanding dengan kontribusi devisa kita ke dia. Meskipun itu realisasinya bertahap,” ujar Maming.
Saling Gugat Indonesia dan Uni Eropa Dinilai Hanya Buang Tenaga
Saat ini, Indonesia tengah mengalami perselisihan dengan Uni Eropa. Dua negara ini saling gugat karena masing-masing menerapkan kebijakan ekspor komoditas mereka.
Uni Eropa, yang menerapkan kebijakan yang dinilai mendiskriminasi sawit Indonesia, melakukan protes ke World Trade Organization (WTO) karena Indonesia menerapkan kebijakan pembatasan ekspor nikel.
Ekonom Center of Reforms on Economic Piter Abdullah menyatakan, penerapan kebijakan ekspor masing-masing negara adalah hal yang wajar dilakukan sebagai strategi kedaulatan di lingkup internasional.
"Tapi kalau sampai gugat-gugatan ke WTO tidak usah lah. Buang tenaga, hanya memperbanyak drama," ujar Piter saat dihubungi Liputan6.com, Senin (16/12/2019).
Baca Juga
Daripada begitu, Piter menilai Indonesia harusnya fokus saja mengembangkan sumber daya alam untuk konsumsi dalam negeri. Jika memang masih merasa terkena diskriminasi dari Uni Eropa, maka lebih baik olah CPO menjadi B20, B30 dan seterusnya.
"Kemudian nikel juga, kan kita mau buat pabrik baterai mobil listrik," imbuhnya.
Advertisement