Liputan6.com, Jakarta - Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto beberkan alasan mengapa pertumbuhan kredit perbankan melambat. Hal itu karena rerata suku bunga korporasi masih tinggi.
Menurut Airlangga, suku bunga kredit korporasi saat ini masih ada di angka 10,7 persen. Sebagai catatan, suku bunga acuan Bank Indonesia (BI) bertahan di angka 5 persen dan sudah diturunkan sebanyak 4 kali.
"Jadi rerata suku bunga kredit korporasi masih 10,7 persen dan ini adalah sebuah persoalan," tutur Airlangga di gedung Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Jumat (20/12/2019).
Advertisement
Baca Juga
Airlangga juga menyatakan, kondisi iklim ekonomi global yang masih volatil membuat perusahaan menahan ini untuk melakukan ekspansi dan investasi.
Oleh karenanya, pemerintah mengimbau kepada perbankan untuk mentransmisikan suku bunga BI dengan cepat.
Sementara, BI menyebutkan realisasi pertumbuhan kredit pada November berkisar di angka 6,53 persen, lebih kecil dari pertumbuhan kredit bulan sebelumnya yang mencapai 7,89 persen.
Saksikan video pilihan berikut ini:
Kredit Perbankan Cuma Tumbuh 6,53 Persen hingga Oktober 2019
Sebelumnya, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat hingga akhir Oktober 2019 penyaluran kredit perbankan hanya mengalami peningkatan sebesar 6,53 persen secara year on year (yoy). Capaian jauh dari target yang dipatok OJK yakni di kisaran 9 persen hingga 11 persen yoy.
Angka tersebut juga menunjukkan bahwa pertumbuhan kredit semakin melambat bila dibandingkan dengan September 2019 yang berada di level 8 persen dan Agustus 2019 di level 8,7 persen.
Deputi Komisioner Pengawas Perbankan III OJK Slamet Edy Purnomo mengatakan, melambatnya pertumbuhan kredit disebabkan oleh turunnya penyaluran kredit di sektor pertambangan dan konstruksi. Pertumbuhan kredit sektor pertambangan per Oktober minus 4 persen.
"Pertumbuhan kredit sektoral yang paling dalam turun itu pertambangan. Dia pertambangan turun sekitar Rp 5 triliun turunnya sekitar -4 persen," urai dia, di Jakarta, Jumat (29/11/2019).
Dia mengatakan, kesiapan infrastruktur transportasi juga menjadi faktor berpengaruh pada kinerja pertambangan. Sehingga meskipun mulai ada peningkatan harga baru bara, tapi jika transportasi tidak siap, maka akan menghambat kinerja pertambangan.
"Karena suply chain pertambangan seperti transportasi di hilir itu masih belum bangkit. Walaupun harga misalnya batu bara naik, tapi transportasinya terganggu juga tidak bisa ekspor atau produksinya," tandasnya.
Advertisement