Liputan6.com, Jakarta - China kian menjaga langkah untuk menggapai tujuan menggandakan pendapatan dan Produk Domestik Bruto (PDB) dalam satu dekade. Negara ini ingin menjadi kekuatan ekonomi global.
Tak bisa dipungkiri, China sekarang sedang berada di jalur untuk menjadi pemain nomor 1 dunia. China terus menguntit Amerika Serikat (AS) di posisi 2 dunia, dengan PDB sebesar USD 13,1 triliun.
Dengan target pertumbuhan ekonomi 6 persen di 2020, China diperkirakan bakal mencapai tujuan menggandakan PDB dan pendapatan dalam satu dekade (2011-2020).
Advertisement
Di sisi lain, China juga mendapat dampak buruk dari perang dagang dengan AS, dan menghadapi banyak sekali tantangan lain untuk menjaga laju pertumbuhan yang kencang.
"Ke depan, China akan terus menjadi sangat kompetitif. Tiongkok masih akan menjadi pemain global, tapi harus menjaga ekspetasi terhadap apa yang Anda pikir akan terjadi," ujar pendiri Destination Wealth Management, Michael Yoshikami seperti dilansir dari CNBC, Selasa (24/12/2019).
Baca Juga
Ungkapan Yoshikami tersebut sejalan dengan apa yang dialami China. Mengacu data Bank Dunia, pertumbuhan ekonomi China sempat memuncak 14,7 persen pada 2007, tapi kemudian menurun dibawah 7 persen tiap tahunnya sejak 2015.
Yoshikami beranggapan, perang dagang dengan AS telah merubah sudut pandang orang China dalam membicarakan pertumbuhan ekonomi. Banyak yang harus dilakukan China saat kedua negara berunding dalam kesepakatan tarif, dan itu turut berdampak terhadap perekonomian di Tiongkok.
"Rata-rata orang percaya bahwa tarif perdagangan menyakitkan. Inflasi naik. Biaya bahan makanan pokok telah naik 10-15 persen. Harga daging babi melonjak 100 persen. Itu sangat menyakiti mereka (orang Tiongkok)," tutur Yoshikami.
Selain itu, pertumbuhan pendapatan fiskal juga turun 3,8 persen di 2019 dari 6,2 persen pada 2018, dan pertumbuhan ekspor menukik 0,3 persen di November 2019 pasca naik 9,9 persen pada periode yang sama tahun sebelumnya.
Namun demikian, Wall Street melihat 2020 bisa menjadi titik balik untuk China. Ada banyak alasan mengapa China dapat menjadi nomor 1, yang diperkuat oleh apa yang mendorong pertumbuhan negara dalam satu dekade terakhir. Ini ditandai dengan munculnya beberapa supercities.
Saksikan video pilihan di bawah ini:
23 Supercities
Ekonom Morgan Stanley memproyeksikan, ketika masa transisi berlangsung, sekitar 23 supercities akan memiliki populasi lebih besar daripada New York. Jika 5 kota saja digabung, maka itu akan menjadi rumah bagi sekitar 120 juta penduduk.
Dengan membawa para pekerja dari pedesaan ke pusat populasi besar, kehadiran supercities bertujuan untuk menahan hambatan yang ditimbulkan populasi menua pada perekonomian Tiongkok secara luas.
"Kami percaya jawaban atas tantangan ini adalah fase baru urbanisasi, yakni menciptakan peningkatan produktivitas dengan memfasilitasi pergerakan kelompok uk Psaha dan pekerja sembari mensinergikan beragam industri," imbuh Morgan Stanley.
Advertisement
Tantangan
China juga banyak berinvestasi dalam teknologi 5G sebagai upaya modernisasi dan urbanisasi. Pada situasi ini, Morgan Stanley menyarankan China untuk memandang impian Internet of Things ini dalam satu tema; digitalisasi ekonomi lama sebagai yang lain, tren supercities sebagai pihak ketiga, mengandalkan peralatan pintar, dan pendidikan kejuruan diantara berbagai inovasi lainnya.
Kendati demikian, Yoshikami memandang, gambaran tersebut masih agak keruh lantaran adanya beberapa masalah mendesak yang sebagian besar tetap belum terselesaikan.
"Berinvestasi di China adalah permainan yang berbahaya, karena mereka berada di antara menjadi pasaf berkembang dan pasar maju. Saya tak yakin valuasi tersebut laik pada saat ini," tukas Yoshikami.