Sukses

Indonesia Siapkan Amunisi Lawan Diskriminasi Sawit oleh Uni Eropa

Mendag akan bertolak ke Jenewa, Swiss untuk berkonsultasi dengan WTO terkait diskriminatif Uni Eropa terhadap kelapa sawit.

Liputan6.com, Jakarta - Wakil Menteri Perdagangan (Wamendag) Jerry Sambuaga mengatakan, Pemerintah Indonesia akan berkonsultasi dengan Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organization/WTO) terkait tindak diskriminatif Uni Eropa (UE) terhadap kelapa sawit Indonesia pada 30-31 Januari 2020.

Forum konsultasi tersebut merupakan tahap awal dari gugatan Pemerintah Indonesia terhadap kebijakan Renewable Energy Directive II (RED II) dan Delegated Regulation UE yang telah dilayangkan resmi ke WTO pada 15 Desember 2019.

"Kalau tidak salah kick off tanggal 30 (Januari). Kita akan rapatkan bersama delegasi di Jenewa untuk memantapkan kembali apa yang akan kita sampaikan di sana," ujar Jerry saat sesi konferensi pers di Gedung Kementerian Perdagangan, Jakarta, Selasa (7/1/2020).

Secara jadwal, Menteri Perdagangan Agus Suparmanto dan Wamendag akan bertolak terlebih dahulu ke Jenewa, Swiss pada 28 Januari 2020 mendatang guna mempersiapkan bahan konsultasi dengan tim delegasi.

Sementara Direktur Pengaman Perdagangan Kemendag Pradnyawati berharap, Indonesia dan Uni Eropa bisa mencapai kata mufakat dalam sesi konsultasi, sehingga tahap gugatan tak perlu dilanjutkan ke tahap panel 60 hari setelahnya.

"UE setuju kita melakukan konsultasi di Januari. Konsultasi ini kita berunding untuk mencari mutually agreed solution. Kita berharap itu selesai, kalau bisa enggak melalui panel," ujar dia.

Dalam tahap konsultasi, Pemerintah Indonesia turut didampingi pengacara dalam negeri serta firma hukum internasional yang berbasis di Brussels, Belgia

"Kita sejak awal sudah dikawal oleh lawyer internasional yang base-nya di Brussels. Tapi kita juga tetap membawa lawyer dalam negeri. Kita lakukan open bidding juga," tukas Pradnya.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

2 dari 2 halaman

Ekspor Sawit Bakal Kena Pungutan Mulai 1 Januari 2020

Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) akan menarik pungutan kepada perusahaan yang melakukan ekspor sawit. Pungutan tersebut dimulai pada 1 Januari 2020. 

Sebenarnya aturan pungutan ini sudah ada sejak lama. Namun penerapannya ditunda karena harga sawit tengah mengalami penurunan. Pungutan sawit kembali diberlakukan bertepatan dengan mandatori B30.

Direktur Utama BPDPKS Dono Boestomi menjelaskan, pemerintah telah mampu mengelola harga sawit sehingga penurunan yang terjadi beberapa waktu lalu bisa ditahan dan bahkan saat ini sudah stabil. Bahkan beberapa negara lain mengakui hal tersebut. 

Dono melanjutkan, karena belum ditarik maka dana penghimpunan selama ini masih nol. "Penghimpunan dananya sudah tahu semua selama 2019 kan nol. Tadi juga rapat di Kantor Menko (Menko Perekonomian) tadi sesuai Permenkeu (Peraturan Menteri Keuangan) yang terakhir, mulai 1 Januari harusnya kita sudah mulai menghimpun dana lagi," kata dia, Kamis (19/12/2019).

Pemerintah menetapkan pungutan ekspor sawit atau Crude Palm Oil (CPO) sebesar USD 50 per ton atau Rp 699 ribu ( USD 1 = Rp 13.992). Apabila harga CPO sampai di atas USD 570 per ton, maka pungutannya sebesar USD 25 atau Rp 349 ribu, dan yang di atas USD 619 akan dikenakan pungutan sebesar USD 50 atau Rp 699 ribu per ton.

Ia pun mengatakan besarnya tarif tergantung harga referensi yang akan diterbitkan oleh Kementerian Perdagangan (Kemendag). Menurutnya, biasanya Kemendag mengeluarkan referensi tarif kisaran tanggal 20 setiap bulan.

"Nanti begitu kami terima, kami langsung akan menyurati pihak-pihak terkait, terutamanya bea cukai, yang kedua untuk pengusaha-pengusaha yang akan melakukan ekspor produk-produk sawit," pungkas Dono.