Sukses

KKP Bakal Bangun Sentra Perikanan Terpadu di Perairan Utara Natuna

Selama ini baru ada satu Sentra Kelautan dan Perikanan Terpadu (SKPT) yang beroprasi di laut Natuna yakni di Selat Lampa.

Liputan6.com, Jakarta - Pemerintah Jokowi-Jusuf Kalla akan kembali membangun fasilitas Sentra Kelautan dan Perikanan Terpadu (SKPT) di perairan utara Natuna, Kepulauan Riau. Pembangunan ini dilakukan mengingat wilayah tersebut memiliki potensi ikan cukup banyak yang bisa dioptimalkan.

Direktur Jenderal Penguatan Daya Saing Produk Kelautan dan Perikanan Kementerian Kelautan dan Perikanan, Agus Suherman mengatakan selama ini baru ada satu SKPT yang beroperasi di laut Natuna yakni di Selat Lampa. Kehadiran SKPT tersebut kurang mengingat potensi ikan di perairan Natuna cukup banyak.

Agus menyebut pembangunan SKPT di perairan Utara Natuna sendiri sebagai fasilitas bagi nelayan. Nantinya di sana akan dibangun pelabuhan, perumahan untuk nelayan, hingga fasilitas industri seperti cold storage atau lemari pendingin.

"Sekarang baru ada satu SKPT di Selat Lampa. di utara belum ada. Nah kita coba nambah satu," ujarnya ditemui di Kamtor Kemenko Maritim dan Investasi, Jakarta, Rabu (8/1/2020).

Agus menambahkan pembangunan tersebut akan direncanakan dalam waktu dekat. Untuk saat ini pihaknya sedang mengumpulkan beberapa dokumen untuk lelaikan pembangunan di wilayah tersebut. Paling cepat, pembangunan mulai dilakukan pada 2021.

"Sekarang perencanaannya kan paling selesai 3-6 bulan selesai untuk di Utara pembangunan fasilitas pelabuhannya, abis itu mungkin 2021 baru mulai (pembangunannya)," jelasnya.

Adapun proses pembangunannya sendiri akan memakan waktu selama 1-2 tahun. Dengan demikian, diharapkan pembangunan tersebut dapat mengoptimalkan potensi perikanan di kawasan Natuna Utara.

Reporter: Dwi Aditya Putra

Sumber: Merdeka.com

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

2 dari 2 halaman

Klaim Wilayah Natuna, China Permalukan Diri Sendiri

Badan Keamanan Laut (Bakamla) RI menegaskan tidak akan ada negosiasi dengan China terkait masuknya kapal mereka ke perairan Natuna, Kepulauan Riau. Akan tetapi Bakamla tak ingin pula membuat China malu karena dipukul mundur.

"Kami tidak akan menegosiasi garis batas negara. Tapi begini, kita jangan membuat mereka malu mundur. Makanya kemarin saya sampaikan kita harus ngerti perilakunya," kata Kepala Badan Keamanan Laut (Kabakamla) Laksdya Achmad Taufiqoerrochman, usai Rakorsus Pengamanan Laut di Kemenko Polhukam, Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Selasa (7/1).

Taufiq menjelaskan, China memiliki masalah dalam negeri di masa lalu pada 1947. Di mana China Taiwan menjadi pihak yang mengusulkan nine dash line. Namun, China sekarang begitu saja melepaskan klaim atas Natuna, sehingga seperti mempermalukan diri sendiri.

"Tahun 1947 oleh China Taiwan, kalau sekarang China menarik itu masalahnya 'ternyata loe lebih lemah dari Taiwan'. itu mana mungkin kan? Taiwan harus independen bagaimana selalu bekerjasama dengan menlu tidak ada yang dipermalukan. Kita tidak dalam keadaan konflik, tidak ada ekskalasi untuk perang. Bakamla ini institusi operasional yang akan selalu bekerja berdasarkan aturan pelibatan," katanya.

Oleh karena itu, Taufiq menilai butuh langkah strategis dalam menyelesaikan konflik ini dengan jalur diplomasi pemerintah.

"Diplomasi tanpa kekuatan juga tak bagus. Kekuatan tanpa diplomasi juga tak jelas. Makanya bagaimana kita memanage itu. Makanya saya selalu tiap pagi laporan ke Menlu, situasi begini. Beliau yang akan menganalisis," tegasnya.

"Dalam hal ini Presiden, ke satuan operasional. Nah semangatnya adalah mencegah terjadinya konflik. Makanya beliau bilang tak ada kompromi masalah kedaulatan di sana. Tak ada diskusi. Tetapi lakukan tindakan terukur. Nah terukur ini jangan terjadi miss kalkulasi, yang akan menjadi eskalasi tak ada kendali, yang justru akan menggangu hubungan baik kedua negara," jelasnya.

Oleh sebab itu, Taufiq tak ingin asal melakukan penangkapan terhadap warga China yang berada di Natuna. Namun, masih menunggu hasil yang pasti atas sengketa ini.

" Jadi begini, walaupun secara formal kita tak melakukan itu, tapi faktanya dia punya klaim di situ dan beririsan dengan kita. Jadi kalau sekarang gini kira-kira, kemungkinan orang China nih, kita bilang China melanggar itu kan. Orang China bilang Indonesia yang melanggar di situ. Kira-kira begitu," pungkasnya.

Reporter: Ronald Chaniago

Sumber: Merdeka.comÂ