Sukses

Peruri Klaim Bisnis Cetak Uang Kertas dan Logam Masih Moncer di Era Cashless

Permintaan uang kartal masih tinggi karena Indonesia merupakan negara kepulauan, dimana akses teknologinya belum tersebar merata.

Liputan6.com, Jakarta - Direktur Pengembangan Usaha Perum Peruri Fajar Rizki menyatakan, di era digital ini, pertumbuhan percetakan uang kertas dan logam masih tinggi. Hal ini diungkapkannya dalam pemaparan di acara Ngopi BUMN di Kementerian BUMN, Rabu (8/1/2020).

"Kemarin Bu Dirut (Dwina Septiani Wijaya) pulang dari Jerman, share hasil seminar ke kita uang kertas maupun logam masih tumbuh 2-3 persen," ujar Fajar.

Hal ini merupakan wujud pertumbuhan bisnis Perum Peruri di tengah gempuran transaksi digital. Hingga saat ini, 60 hingga 70 persen percetakan uang kertas didominasi dari permintaan uang kartal domestik.

Fajar menambahkan, permintaan uang kartal domestik masih tinggi karena Indonesia merupakan negara kepulauan, dimana akses teknologinya belum tersebar merata sehingga beberapa daerah tentu masih menggunakan uang kertas untuk bertransaksi.

"Memang kalau untuk kota besar seperti Jakarta, Surabaya, Makassar dan Medan cashlessnya sudah jalan. Tapi di daerah yang jauh dari perkotaan tentu masih membutuhkan uang fisik," papar Fajar.

Sementara, percetakan uang yang dilakukan Perum Peruri juga merupakan penugasan dari Bank Indonesia. Setiap dua tahun, BI menugaskan Perum Peruri untuk mencetak sekitar 8 milyar bilyet (lembar uang).

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

2 dari 2 halaman

Perum Peruri Ruap Untung Rp 360 Miliar di 2019

Sepanjang tahun 2019 pendapatan usaha Perusahaan Umum Percetakan Uang Republik Indonesia (Peruri) tercatat sebesar Rp 3,9 triliun. Jumlah ini meningkat 23 persen dari tahun 2018 yang mencapai Rp 3,1 triliun.

"Sesuai prognosa 2019, pendapatan Peruri Rp 3,9 triliun," kata Direktur Pengembangan Usaha Peruri, Fajar Rizki di Kantor BUMN, Jakarta, Rabu (8/1).

Laba usaha Peruri tahun 2019 sebesar Rp 595 miliar. Meningkat dari tahun sebelumnya Rp 456 miliar. Sehingga Peruri meraup laba bersih Rp 360 miliar. Naik 25 persen dari tahun 2018 yakni Rp 288 miliar.

EBITDA Peruri sebesar Rp943 miliar atau meningkat 22 persen dibandingkan 2018 yang mencapai Rp770 miliar. Sehingga total aset sebesar Rp5,46 triliun. Jumlahnya meningkat persen dibandingkan 2018 yang mencapai Rp 5,05 triliun. 

Fajar menyebut selama ini kondisi bisnis Peruri terbilang fluktuatif lantaran ketergantungan terhadap order pencetakan uang rupiah di Bank Indonesia (BI). Jumlahnya sekitar 60 persen sampai 70 persen.

"Sehingga perkembangannya mengikuti jumlah pesanan cetak uang rupiah," kata Fajar.

Di tengah era transaksi non tunai, Fajar mengatakan Peruri tidak kekurangan order pencetakan uang fisik. Sebab hal itu baru berkembang di kota-kota besar di Indonesia, seperti Jakarta, Surabaya, Makassar dan lainnya.

Sebagai negara kepulauan, kebutuhan uang fisik masih diminati di berbagai daerah. Permintaannya sesuai dengan pertumbuhan ekonomi yang sedang berjalan.

"Kalau kota yang lain masih (uang) fisik dan permintaannya masih tumbuh," ujar Fajar.

Dia menambahkan, hasil seminar Menteri BUMN Rini Soemarno di Jerman tahun lalu menunjukkan, kebutuhan uang fisik secara global masih tumbuh sekitar 2-3 persen.

"Hasil risetnya masih tumbuh antara 2-3 persen secara dunia," sambung Fajar.