Sukses

Antisipasi Harga Minyak Naik, Masyarakat Diminta Hemat Konsumsi BBM

Kenaikan harga minyak dunia akibat memanasnya hubungan AS dan Iran.

Liputan6.com, Jakarta - Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) meminta masyarakat berpartisipasi, ‎untuk mengantisipasi kenaikan harga minyak dunia akibat memanasnya hubungan Amerika Serikat (AS) denan Iran.

Menteri ESDM Arifin Tasrif mengatakan, kenaikan harga minyak dunia akan berpengaruh pada neraca pembayaran negara, sebab biaya yang dikeluarkan untuk subsidi semakin meningkat.

"Kalau harga minyak naik risiko dengan neracana pembayaran‎," kata Arifin, di Kantor Kementerian ESDM, Jakarta, Kamis (9/1/2020).

Menurut Arifin‎, untuk mengantisipasi kenaikan harga minyak dunia akibat memanasnya hubungan AS dan Iran, masyarakat perlu berpartisipasi dengan lebih efisien menggunakan Bahan Bakar Minyak (BBM) subsidi sehingga dapat meringankan beban pemerintah.

"Langkah antisipasi kita minta semua masyarakat untuk dukung pemerintah, meningkatkan efisiensi supaya pemakaian bisa optimal dan tidak menyebabkan demand berlebihan, penyimpangan-penyimpangan itu harus bisa dikurangi," paparnya.

Arifin berharap, kenaikan harga minya‎k dunia tidak signifikan, dengan mulai meredanya gejolak di Timur Tengah sehingga berpengaruh pada penurunan harga minyak.

‎"Ini sudah reda lagi, hari ini udah reda lagi, sudah turun lagi, jadi mudah-mudahan nggak ada ekskalasi," tandasnya.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

2 dari 3 halaman

Iran Serang Balik AS, Harga Minyak Melonjak ke USD 71 per Barel

Harga minyak melonjak lebih dari 4 persen pada level tertinggi di awal perdagangan pada Selasa malam (Rabu waktu Jakarta) usai serangan balasan Iran terhadap Amerika Serikat (AS). Pejabat militer Amerika Serikat mengatakan Iran meluncurkan lebih dari selusin rudal balistik terhadap berbagai pangkalan di Irak yang menampung prajurit militer AS.

Dikutip dari CNBC, harga minyak mentah berjangka West Texas Intermediate AS melonjak 4,5 persen, atau USD 2,85, ke sesi tertinggi sejak April yang sebesar USD 65,65 per barel.

Sedangkan Benchmark internasional, minyak mentah Brent naik lebih dari 4 persen ke sesi tertinggi USD 71,75 per barel, tertinggi sejak September, setelah sebelumnya turun ke USD 69,86.

"Saya pikir para pedagang sepenuhnya mengantisipasi pembalasan, tetapi tidak pada pasukan AS, yang menyebabkan para pedagang takut langkah selanjutnya oleh AS mungkin merupakan serangan balik ke Iran, yang dapat membuka kaleng cacing lain," ujar Direktur Pelaksana Tudor, Pickering, Holt & Co, Michael Bradley. 

"Arah pergerakan pasar dalam 48 jam ke depan sekarang akan tergantung pada respons AS," tambahnya.

Saham berjangka AS jatuh pada Selasa malam, dengan Dow Jones Industrial Average berjangka turun lebih dari 400 poin pada titik terendah. Ini menunjukkan kerugian lebih besar dari 300 poin pada pembukaan Rabu. S&P 500 dan Nasdaq 100 futures menunjukkan kerugian setidaknya 1 persen

“Sekitar pukul 5:30 malam pada 7 Januari, Iran meluncurkan lebih dari selusin rudal balistik melawan militer AS dan pasukan koalisi di Irak. Jelas bahwa rudal ini diluncurkan dari Iran dan menargetkan setidaknya dua pangkalan militer Irak yang menampung personel militer dan koalisi AS di Al-Assad dan Irbil," kata Asisten Sekretaris Pertahanan untuk Urusan Publik Jonathan Hoffman.

"Kami sedang menghimpun nilai kerusakan pada pertempuran awal," ungkap dia.

3 dari 3 halaman

Ingin Segera Mereda, Pengusaha Khawatir Konflik Iran-AS Kerek Harga Minyak

Pengusaha berharap memanasnya kondisi Iran dengan Amerika Serikat (AS) tidak menimbulkan perperangan. Pasalnya, akan berdampak pada kenaikan harga minyak dunia.

Ketua Dewan Pertimbangan Apindo Sofjan Wanandi mengatakan, jika perang Iran dan AS pecah akan mendongkrak harga minyak dunia.

Hal ini tentunya akan berdampak memberatkan Indonesia yang masih mengandalkan impor minyak. Sebab itu, dia berharap konflik di Timur Tengah tersebut segera mereda.

"Oh iya pasti ini akan terjadi, cuma saya harapkan, jangan perang betul, kalau perang betul kita juga susah," kata Sofjan, di Gedung BPPT, Jakarta, Selasa (7/1/2020).

Sofjan melanjutkan, Indonesia masih ketergantungan impor minyak, sebab produksi minyak dalam negeri tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan konsumsi.

"Cadangan kan sedikit, rugi kita jangan perang, kalau dia perang kita celaka," ujarnya.

Menurut Sofjan, jika harga minyak naik akan membuat subsidi bengkak sehingga memberatkan keuangan negara. Pasalnya, sebagian besar bahan bakar Indonesia masih disubsidi pemerintah.

"Subsidi kita, kita punya harga minyak kalau naik kan kita impor minyak banyak sekali," tandasnya. Â