Sukses

Kadin Dorong Penerapan Bahan Bakar Berbasis Karet Alam

Indonesia merupakan salah satu negara penghasil karet terbesar di dunia dengan total produksi mencapai 3,55 juta ton per tahun.

Liputan6.com, Jakarta - Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia bekerjasama dengan Asosiasi Perusahaan Ban Indonesia (APBI), mendukung penerapan teknologi bahan bakar nabati dari karet alam sebagai alternatif energi bahan bakar selain kelapa sawit.

"Saya mendukung bahwa kita mencari energi alternatif, saya juga kaget karet bisa digunakan jadi bahan bakar. Potensinya juga tinggi banget, cukup besar, dan kita melihat tingginya kandungan minyak dibiji latex. Banyak sekali yang bisa dimanfaatkan, 1 hektar bisa ditanami 400 pohon karet, yang menghasilkan 5050 biji karet," kata Wakil Ketua Umum Kadin Bidang Perindustrian, Johnny Darmawan, di Menara Kadin Indonesia, Jakarta, Senin (20/1/2020).

Karena memang, dalam industri karet, hasil utama yang diambil dari tanaman karet adalah latex. Sementara biji karet masih belum dimanfaatkan, malahan dibuang sebagai limbah.

"Padahal dapat dimanfaatkan menjadi bahan bakar nabati yang potensial untuk dikembangkan secara teknis maupun keenomiannya," ujarnya.

Menurutnya, dengan kemajuan teknologi saat ini, sebenarnya bisa dibuat apa saja untuk menggantikan bahan bakar selain kelapa sawit.

Ia pun berharap bisa menghasilkan rekomendasi yang komprehensif, dari penerapan bahan bakar berbasis karet ini, dengan mempertimbangkan dahulu melakukan penelitian lebih lanjut, apakah bahan bakar dari karet ini bisa bersaing atau tidak.

"Saya melihat baru kita debatkan apakah bisa bersaing atau tidak, kalau dalam jangka 1-2 tahun bisa dilepas itu namanya subsidi yang visible," ungkapnya.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

2 dari 2 halaman

Produsen Karet Terbesar

Seperti diketahui, Indonesia merupakan salah satu negara penghasil karet terbesar di dunia, Pada tahun 2019 total produksi mencapai 3,55 juta ton per tahun, dan seluruh area perkebunan karet Indonesia mencapai 3,4 juta hektar.

Sementara itu, dilihat dari sisi pemerintah sudah siap untuk menerima penerapan bahan bakar berbasis karet, hal itu terlihat dari upaya pemerintah yang sudah menerapkan Biodiesel 30 (B30).

"Kalau saya melihat dipemerintah itu siap sih, karena sudah menerapkan B20, B30, B50 dan bahkan selanjutnya bisa B100," jelasnya.

Namun, dari penerapan B30 tersebut banyak keluhan karena bahan bakar yang tidak bertahan lama, misalnya dari pelayaran yang mengeluhkan bahan bakar tersebut.

Oleh karena itu, menurutnya harus mempertimbangkan bagaimana membangun industri yang berkelanjutan, jangan bersifat on-off.

Upaya Pemerintah mendorong penggunaan bahan bakar nabati, untuk mengurangi konsumsi BBM yang berasal dari minyak bumi, diawali dengan Peraturan Presiden RI No 5 tahun 2006, yang menargetkan pemanfaatan BBN hingga 5 persen, dari total primer pada tahun 2025, serta Peraturan Menteri ESDM no. 32 tahun 2008.

Namun, pemanfaatan Bahan Bakar Nabati semenjak dikeluarkan aturan itu belum pernah mencapai target. Seperti dilihat dalam kurun waktu 5 tahun terakhir, produksi karet nasional (lateks) cukup besar yakni, di atas 3,3 juta ton, tapi untuk harga karetnya alami tekanan yang hanya menyerap 70 persen dari konsumsi karet alam nasional.

"Untuk mewujudkan keberlangsungan industri berbasis karet, diperlukan dukungan dan kerjasama dari pemerintah, yakni terkait konsistensi terhadap kebijakan hilirisasi hasil perkebunan karet, menjadi produk yang bernilai tambah," pungkasnya.