Liputan6.com, Jakarta - Ketua Umum Real Estate Indonesia (REI) Totok Lusida mengatakan anggaran subsidi perumahan untuk masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) akan habis di bulan April. Padahal kebutuhan rumah bagi MBR tahun ini mencapai 260 ribu unit.
Anggaran yang diperlukan untuk membangun hunian sederhana tersebut sebanyak Rp 29 triliun. Namun dana yang dianggarkan lewat APBN hanya Rp 11 triliun.
Dana tersebut baru bisa memenuhi 97.700 unit rumah. Masih dibutuhkan Rp 18 triliun untuk memenuhi kekurangan pembangunan rumah untuk MBR.
Advertisement
"Kami usulkan pengkategorian konsumen menjadi dua berdasarkan penghasilan," kata Totok di Menara Kadin, Jakarta, Kamis (23/1).
Baca Juga
Bagi masyarakat berpenghasilan kurang dari Rp 4 juta per bulan disalurkan anggaran Rp 1 triliun dengan bunga 5 persen untuk dicicil selama 20 tahun. Sehingga dapat memenuhi kebutuhan rumah sebanyak 8.888 unit.
Sedangkan bagi masyarakat dengan penghasilan Rp 4 juta sampai Rp 5 juta tiap bulan disalurkan subsisdi sebesar Rp 10 triliun. Bunga yang ditetapkan untuk masyarakat kelas ini sebanyak 8 persen dengan cicilan 20 tahun. Sehingga dapat mengcover rumah sebanyak 141.300 unit rumah.
"Sehingga anggaran Rp 11 Triliun dapat mengcover hingga 150.188 unit rumah," kata Totok lagi.
Lalu, sisa kekurangan dari dana sebanyak Rp 18 triliun dapat dicarikan melalui beberapa alternatif. Misalnya pengalihan dana SSB dan BP2BT, relokasi subsidi gas dan peranan lebih besar dari BPJS TK dan Sarana Multigriya Finansial (SMF).
Reporter:Â Anisyah Al Faqir
Sumber: Merdeka.com
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Pemerintah Turunkan DP Rumah Subsidi Jadi Minimal 1 Persen
Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) mengubah persyaratan uang muka rumah subsidi dari minimal lima persen menjadi satu persen. Ini untuk memudahkan persyaratan kepemilikan rumah bersubsidi bagi masyarakat berpenghasilan rendah lewat Program Bantuan Pembiayaan Perumahan Berbasis Tabungan (BP2BT).
Wakil Menteri PUPR John Wempi Wetipo mengatakan, untuk mendorong percepatan penyaluran dana bantuan pembiayaan tersebut, Kementerian PUPR memberikan pelonggaran pada persyaratan Program BP2BT dengan menerbitkan Peraturan Menteri PUPR Nomor 13/PRT/M/2019 tentang BP2BT.
"Beberapa ketentuan pada peraturan tersebut diubah, misalnya pertama persyaratan uang muka yang semula minimal lima persen menjadi satu persen," kata Wempi dalam keterangan resminya di Jakarta, dikutip Antara, Minggu (17/11/2019).
Dia menjelaskan, persyaratan lama menabung pada sistem perbankan dari semula minimal enam bulan menjadi tiga bulan. Sedangkan pelonggaran persyaratan ketiga adalah perpanjangan masa berlaku Surat Keputusan Penerima Manfaat BP2BT ditambah dari semula 20 hari menjadi 30 hari.
Selain itu, relaksasi persyaratan Sertifikat Laik Fungsi (SLF) sebelum akad kredit menjadi surat pernyataan kelaikan fungsi bangunan rumah subsidi dari pengkaji teknis, pengawas konstruksi, atau manajemen konstruksi.
Kementerian PUPR juga telah menerbitkan Keputusan Menteri PUPR Nomor 1013/KPTS/M/2019 tentang Batasan Lebar Kaveling Rumah Sejahtera Tapak yang Diperoleh melalui Kredit Pemilikan Rumah (KPR) Bersubsidi dan Lebar Kaveling Rumah Tapak Umum yang Diperoleh Melalui Program BP2BT.
Aturan tersebut menetapkan relaksasi ketentuan lebar kaveling dari semula minimal enam meter menjadi paling rendah lima meter untuk site plan yang telah disetujui pemerintah daerah paling lambat 1 Oktober 2019.
"Oleh karena itu, saya berharap kerja sama mitra pengembang dan bank pelaksana dapat mengimplementasikan perubahan secara cepat dan tepat pada waktu yang tersisa tahun 2019 ini," imbuhnya.
Advertisement
Program Rumah Subsidi Berlanjut, Ini Permintaan Pengembang
Pemerintah berencana melanjutkan program satu juta rumah pada tahun 2020. Rencananya, pemerintah akan menambah kuota rumah subsidi skema Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) menjadi 110 ribu unit.
Namun, pihak dunia properti berkata dana FLPP tercatat masih kurang. Isu sedikitnya kuota ini sudah disorot pihak pengembang sejak beberapa waktu lalu. Pemerintah pun diharap menggenjot pembiayaan untuk tahun depan.
"Jadi penyediaan untuk dana FLPP itu yang jumlahnya agak kurang, sehingga dibutuhkan lagi komitmen dari pemerintah tentang penyediaan dana untuk pembiayaan FLPP tahun depan," ujar Eddy Hussy, Ketua Badan Pertimbangan Organisasi Pusat asosiasi Realestat Indonesia (REI) kepada Liputan6.com, Minggu (3/11/2019).
Hal lain yang Eddy catat adalah soal regulasi. Ia berharap ada regulasi yang sifatnya lebih akomodatif bagi konsumen dan pembangun. Sebab, peminat rumah subsidi umumnya adalah masyarakat golongan kecil dan pengembangnya pun bukan dari perusahaan skala besar, sehingga lebih baik regulasinya tidak terlalu menyulitkan.
"Jadi mereka memang ingin kalau lagi butuh rumah itu dalam kondisi yang cepat dan sederhana, sehingga mereka akan lebih gampang untuk bisa mendapatkan," jelas Eddy.
"Bagi pembangun, pembangunan rumah-rumah FLPP ini juga rata-rata itu pengusaha-pengusaha yang berskala kecil atau menengah, jadi bukan pengembang-pengembang besar yang notabene memiliki segala aspek yang cukup lengkap," lanjutnya.
Sementara Sekjen DPP REI Totok Lusida menilai kuota subsidi untuk tahun depan masih di bawah angka yang pengembang mampu realisasikan, yakni di atas 300 ribu rumah. Pihaknya lantas menawarkan solusi dengan mempersingkat tenor KPR agar kuota rumah subsidi skema FLPP bisa bertambah.
"Kita tidak boleh menggantungkan diri kepada angaran pemerintah aja. Jadi saya coba itung-itungan dan sudah disampaikan ke presiden bahwa subsidi itu cukup tujuh tahun," ujar Totok.
Ia menjelaskan bahwa mengubah kebijakan subsidi dari 20 tahun menjadi tujuh tahun bisa meningkatkan anggaran kuota rumah subsidi menjadi tiga kali lipat, sehingga tahun depan subsidi bisa menjadi 300 ribu. Totok pun menyebut sudah membahas isu ini bersama Presiden, Kementerian PUPR, dan Kementerian Keuangan. Â