Liputan6.com, Jakarta - Masa kepemimpinan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Ma'ruf Amin sudah mencapai 100 hari kerja. Berbagai gebrakan di Kabinet Indonesia Maju menggemparkan publik. Beragam kebijakan yang dikeluarkan menuai pro dan kontra.
Termasuk dari kalangan buruh yang dikenal pro aktif dalam mengkritisi kebijakan pemerintah khususnya yang berkaitan dengan ketenagakerjaan dan kesejahteraan buruh.
Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal menyatakan, buruh tidak dapat menilai dengan pasti bagaimana kinerja pemerintah dalam 3 bulan ini.
Advertisement
Namun, buruh menyoroti pembentukan Omnibuslaw Ketenagakerjaan dan iuran BPJS Kesehatan yang naik, karena keputusan tersebut berdampak langsung ke buruh yang notabenenya berada di kalangan menengah ke bawah.
Baca Juga
"Saya tidak punya pendapat (kinerja). (Namun) yang menjadi sorotan buruh adalah menolak Omnibuslaw dan menolak kenaikan iuran BPJS Kesehatan khususnya kelas 3," ujar Said Iqbal saat dihubungi Liputan6.com, Jumat (31/1/2020).
Said melanjutkan, ada beberapa alasan mengapa buruh menolak Omnibuslaw Ketenagakerjaan, antara lain dapat menghilangkan upah minimum, mengurangi nilai pesangon, adanya fleksibilitas pasar kerja atau penggunaan outsourcing bebas dan buruh kontrak tanpa batas, lapangan pekerjaan yang tersedia berpotensi diisi tenaga kerja asing (TKA) dan unskilled workers (tenaga tanpa keahlian), jaminan sosial terancam hilang hingga menghilangkan sanksi pidana bagi pengusaha.
"Omnibus law ini berarti pemerintah belum mendukung kepentingan buruh, khususnya omnibuslaw kluster ketenagakerjaan yang merugikan buruh," imbuhnya.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Kenaikan Iuran BPJS Kesehatan
Lanjut Said, kenaikan iuran BPJS Kesehatan harusnya juga dapat diminimalkan oleh pemerintah, karena jika iuran naik, maka akan membuat daya beli masyarakat jatuh sehingga akan terjadi migrasi kepersertaan dari kelas I ke kelas II atau III.
"Ketika iuran semakin memberatkan dan akhirnya rakyat tidak mampu membayar iuran BPJS Kesehatan, sama saja kebijakan ini telah memeras rakyat. Padahal, jaminan kesehatan seharusnya hadir adalah tanggung jawab negara sebagaimana amanat Undang-Undang 1945 padal 28H," tuturnya.
Sehingga kesimpulannya, buruh belum dapat merasakan rangkulan negara untuk buruh melalui kebijakan-kebijakan yang diambil.
Advertisement