Liputan6.com, Jakarta - Menteri Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif menyatakan, skema bagi hasil minyak dan gas bumi (migas) gross split tidak terbukti berhasil menarik investasi, sebab itu dia akan menerapkan kembali cost recovery.
Arifin mengatakan, sistem cost recovery sempat digunakan sebagai skema bagi hasil migas,‎ kemudian pemerintah berhenti menggunakan skema tersebut beralih menggunakan gross split. Dia pun berencana skema bagi hasil cost recovery diterapkan kembali, sebab gross split tidak mampu menggaet investasi.
"Di sektor migas kita dulu kenalkan sistem sharing cost recovery. Beralih ke gross split, ternyata gross split belum mampu tarik invest‎asi," kata Arifin, di Jakarta, Kamis (30/1/2020).
Advertisement
Baca Juga
Menurut Arifin, ‎kedua skema bagi hasil tersebut akan diterapkan pada industrik migas Indonesia, sebab masing-masih skema bagi hasil memiliki karakteristik berbeda yang diminati oleh investor.
"Gross split diminati untuk sumber yang sudah dikerjakan, untuk yang baru butuh scurity eksplorasinya. Kita fleksibel kenalkan dua skema ini," ujarnya.
Untuk menerapkan bagi hasil migas dengan skema cost recovery, Kementerian ESDM sedang melakukan evaluasiasi komponen split yang bisa menghemat biaya. Dia memastikan, kebijakan yang dibuat harus mempertimbangkan keuntungan investor dan negara.
"Kita sedang menelti item-item cost recovery apa saja yang bisa kita sepakati bersama dan mana-mana yang bisa kita hemat. Nanti arahnya pada total cost yang berikan benefit dua pihak," tandasnya.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Sistem Gross Split Bikin Daya Pikat Investasi Hulu Migas RI Naik
Laporan Petroleum Economics and Policy Solution (PEPS) Global E&P Attractiveness Ranking menyebutkana bahwa daya saing ketertarikan berinvestasi pada sektor minyak dan gas bumi (migas) di Indonesia tahun 2018 nempati peringkat 25 dari 131 negara.
Wakil Menteri Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) Arcandra Tahar mengatakan, capaian ini membuktikan tata kelola sektor migas Indonesia membaik sehingga mampu memikat para investor.
"Penilaian yang diakui oleh lembaga riset global membuktikan pengelolaan sektor migas di Indonesia belakangan ini berhasil mendorong kembali geliat investasi migas. Ini tak lepas dari upaya perubahan kebijakan fiskal pada pengusahaan di sektor migas," kata Arcandra, di Jakarta, Jumat (15/2/2019).
Dilansir dari laporan IHS Markit, lembaga penyedia informasi dan analisis global yang berpusat di London, Indonesia masuk dalam kategori negara yang mampu menggenjot aktivitas eksplorasi dan eksploitasi migas di tengah lesunya investasi hulu migas akibat fluktuasi perekonomian global. Indonesia mampu mengguli Aljazair, Rusia, Mesir yang dikenal sebagai negara eksportir minyak.
Berdasarkan laporan yang sama, Indonesia juga menduduki peringkat terbaik apabila dibandingkan dengan negara-negara ASEAN lainnya. Bila dikomparasikan, Malaysia misalnya. Pada tahun 2017 menduduki peringkat ke-23, sekarang ini melorot ke posisi 35.
Peningkatan aktivitas ini tak lepas dari adanya perubahan sistem fiskal bagi hasil Gross Split yang diterapkan oleh Pemerintah untuk menggantikan rezim fiskal sebelumnya, yaitu cost recovery. Perubahan ini cukup membawa angin segar lantaran efisiensi dalam sistem gross split menggiurkan para Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) migas menggalakkan kegiatan eksplorasi dan ekploitasi.
"Salah satu daya tarik Gross Split bagi para pelaku usaha migas adalah sistem ini mampu melindungi investor di saat rendahnya harga komoditi minyak dunia," jelas Arcandra.
Pemerintah pun berhasil mengantongi dana eksplorasi dari penerapan sistem fiskal baru tersebut sebesar Rp 31,5 triliun. Angka tersebut belum ditambah dengan bonus tanda senilai Rp 13,5 triliun yang diperoleh dari 39 kontraktor yang menggunakan sistem gross split.
"Saya yakin perubahan fiskal ini sangat menjanjikan bagi perkembangan masa depan investasi migas di Indonesia," tutur Arcandra.
Advertisement