Sukses

PGN Perluas Jaringan Gas Rumah Tangga demi Tekan Subsidi LPG

Pembangunan jaringan gas ini untuk membantu pemerintah dalam mengurangi beban subsidi Liquified Petroleum Gas (LPG).

Liputan6.com, Jakarta - PT Perusahaan Gas Negara (PGN) ‎terus memperluas pembangunan jaringan gas bumi (jargas) rumah tangga. Pembangunan jaringan gas ini untuk membantu pemerintah dalam mengurangi beban subsidi Liquified Petroleum Gas (LPG).

Direktur Utama PGN Gigih ‎Prakoso mengatakan, dalam rencana perusahaan PGN akan menambah jargas sebanyak 800 ribu sambungan rumah tangga pada 2020 hingga 2021.

"Kami tetap komit untuk membangun jargas, kami akan tambah 800 ribu sambungan rumah yang baru," kata Gigih, di Jakarta, Seni (3/2/2020).

‎Menurut Gigih, perluasan jargas untuk rumah tangga terus dilakukan PGN untuk menggantikan LPG 3 Kilo gram (Kg), sehingga dapat membantu pemerintah mengurangi subsidi LPG 3 Kg.

"Untuk pelanggan yang ditujukan untuk membantu mengurngi LPG 3 kg tentunya jargas lebih rendah dari LPG 3 kg," tuturnya.

Namun dalam upaya mendorong penggunaan gas bumi. perlu adanya evaluasi ulang mengenai harga gas bumi. Untuk masyarakat yang tergolong mampu sebaiknya dikenakan harga komersial.

‎"Konsen kami adalah masalah komersialitasnya. kami harapkan BPH Migas berikan kebijakan mengnai harga bervariasi," tandasnya.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

2 dari 2 halaman

Turunkan Harga Gas, Pemerintah Diminta Berikan Insentif

Pemerintah diminta untuk lebih teliti dalam menurunkan harga gas. Hal ini disinyalir bisa memicu kerugian bagi para pelaku industri jika tak dibarengi dengan adanya insentif.

Anggota Komisi VI DPR Herman Khaeron mengatakan, pemerintah harus melihat dampak dari sisi hulu ke hilir migas jika harga gas harus turun menjadi USD 6 per MMBTU. Upaya ini dilakukan demi menghindari kerugian dan melemahnya geliat investasi pada setor tersebut.

"Saya kan pernah di komisi VII DPR, bagaimana menghitung terhadap berbagai instrumen yang menyebabkan kemudian berlaku harga saat ini," kata Herman, di Gedung DPR, Jakarta, Senin (3/2/2020).

Dia mengungkapkan, saat ini harga gas dari ‎sisi hulu atau sumur berkisar pada USD 7 hingga 9 per MMBTU. Jika ditambah biaya distribusi dan operasional makan tidak memungkinkan harga gas bumi turun menjadi USD 6 per MMBTU.

"Saya cek ke hulu, dihulu plus transportasi dan operasional, ya memang tidak memungkinkan," tuturnya.

Menurutnya, jika harga gas dipaksa turun menjadi USD 6 per MMBTU akan menimbukan kerugian bagi pelaku hulu migas dari hulu ke hiliri. Oleh sebab itu pemerintah ‎perlu memberikan insentif untuk menghindari kerugian terjadi.

‎"Sehingga kalau kemudian dipaksakan, harga USD 6 per mmbtu, tanpa ada dispensasi dari pemerintah, ya pasti akan rugi karena dengan business as usual tidak mungkin kalau menurunkan harga sampai USD 6," ungkapnya.

Dia menyebutkan, dispensasi yang bisa diberikan adalah menurunkan harga gas bagian pemerintah dari produksi sumur migas dan mensubsidi pada biaya distribusi serta opersional.

‎"Kalau untungnya tidak besar, ya tidak apa-apa. Yang penting jangan rugi, karena kalau penugasan membuat korporasi rugi, ya berarti kita membuat pohon itu layu dan tdak berbuah nantinya.

‎"Ya harus ada dispensasi atau insentif dari pemerintah. Sehingga secara ekonomis bisa dijalankan dengan harga 6 dolar‎," tandasnya.