Sukses

DPR: Biaya Pemindahan Ibu Kota Terlalu Besar

Anggota Komisi XI Dewan Pereakilan Rakyat (DPR) RI, Marwan Cik Asan, kembali mengkritik rencana pemerintah terkait pemindahan Ibu Kota.

Liputan6.com, Jakarta - Anggota Komisi XI Dewan Pereakilan Rakyat (DPR) RI, Marwan Cik Asan, kembali mengkritik rencana pemerintah terkait pemindahan Ibu Kota Negara (IKN) dari Jakarta ke Kalimantan Timur. Sebab, menurut dia anggaran yang digunakan untuk pemindahan ibu kota terbilang terlalu besar.

"Apakah masih relevan dan prioritas mau pindahkan IKN di kondisi kita hari ini dari manapun anggaran Rp 466 triliun dari BUMN, swasta apalagi dari APBN kalau gunakan untuk IKN apa nggak sayang dan saya pikir belum perlu-perlu sekali," katanya di ruang rapat Komisi XI, DPR RI, Jakarta, Selasa (4/2/2020).

Menurutnya rencana ini dari zaman Presiden Soekarno dan SBY pun sudah didorong. Namun tidak juga terealisasikan. Sementara, di periode Pemerintahan Jokowi isu ini kembali digulirkan.

Oleh karena itu, dirinya meminta pemerintah untuk berpikir dan mengkaji ulang mengenai rencana pemindahan ibu kota negara. "Lebih baik uang itu kita gunakan untuk ekonomi nasional di bdiang inevstasi, gimana meningkatkan konsumi masyarskat," imbuh dia.

Di samping itu, upaya pemindahan ibu kota negara juga dinilai dak terlalu urgent. Apalagi, kenaikan kontribusi pertumbuhan ekonomi jika ibu kota pindah ke Pulau Kalimantan hanya mampu mendorong sebesar 0,1 persen.

"Pikirkan kembali pemindahakn IKN apakah sudah urgent? IKN jadi bisa gagal dan bisa suskes kalau sukses, kalau gagal gimana?" tandasnya.

Reporter: Dwi Aditya Putra

Sumber: Merdeka.com

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

2 dari 2 halaman

Ibu Kota Baru Bakal Bebas dari Mati Listrik

Sebelumnya, PT PLN (Persero) membangun sistem kelistrikan ibu kota negara baru Penajam Peser Utara dan Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur lebih baik. Bahkan PLN mengklaim di sana akan menjadi wilayah yang terbebas pemadaman listrik.

Direktur Bisnis Regional PLN Kalimantan dan Sulawesi Syamsul Huda mengatakan, ada beberapa ketentuan yang berbeda dalam melistriki ibu kota negara baru dengan kota lainnya. Seperti penyedian sumber listrik, minimal 39 persen dari kebutuhan ibu kota negara baru harus berasal dari pembangkit berbasis Energi Baru Terbarukan (EBT).

‎"Ibu kota baru di sana belum ada apa-apa, tapi kami diajak kordinasi dengan Bappenas untuk menyiapkan kondisi kelistrikannya," kata Huda, di Jakarta, Sabtu (1/2/2020). 

Menurut Huda, ‎sistem kelistrikan ibu kota negara baru juga harus lebih baik ketimbang kota lain. Sehingga, ibu kota negara baru bebas dari pemadaman listrik. Hal ini seperti yang diterapkan pada sistem kelistrikan di kawasan Istana Negara yang ada di Jakarta.

"Tidak boleh kabelnya semrawut seperti Jakarta, underground kabel. Kita sudah siapkan dalam RUPTL‎ (Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik)," tuturnya.