Sukses

DPR Minta Tarif Iuran Penyaluran Gas oleh BPH Migas Dihapus

Langkah BPH Migas yang menarik iuran niaga dan pengangkutan gas bumi melalui pipa dianggap hanya menambah beban dalam komponen pembentukan harga gas.

Liputan6.com, Jakarta - Komisi VII DPR meminta agar tarif iuran penyaluran gas yang dipungut oleh Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) dapat dihapus. Langkah ini dipandang penting untuk mendukung penurunan harga gas.

Anggota Komisi VII DPR Nasyirul Falah Amru mempertanyakan langkah BPH Migas yang menarik iuran niaga dan pengangkutan gas bumi melalui pipa, yang dianggap hanya menambah beban dalam komponen pembentukan harga gas.

"Iuran hanya menambah beban masyarakat buat apa? Narik iuran gas pipa jangan-jangan malah bikin mahal," cibir dia di Gedung DPR RI, Jakarta, Rabu (12/2/2020).

Falah menganggap inisiatif BPH Migas dalam mengatur tarif pengangkutan gas bumi sudah kelewat batas. "Kita lihat peran BPH Migas sudah jauh sekali. Dia mencoba mengatur soal tarif transmisi, padahal di ratas Presiden tidak ada," ungkapnya.

Menurutnya, jika pemerintah bermaksud untuk menerapkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 40 Tahun 2016 yang mengamanatkan ‎penurunan harga gas bumi di tingkat konsumen menjadi USD 6 per mmbtu, ‎maka sebaiknya BPH Migas tidak merubah tarif pengangkutan gas bumi.

Dia menyatakan, jika BPH Migas dapat menjalankan kewajiban dengan baik, seharusnya lembaga tersebut bukan menjadi corong pemerintah, tapi penyeimbang.

"Kalau memang sebagai corong pemerintah, iuran dicabut saja. Kalaupun harus ada iuran sebaiknya diberikan saja kepada badan usaha sebagai insentif. Itu lebih bagus dan bijaksana," imbuhnya.

"Terkait juga bagaimana menetapkan formula transmisi, formulanya bagaimana, apakah ada formulanya, BPH Migas jangan jauh masuk ke tarif transmisi. Perpres 40 bisa dijalankan, jangan terlalu masuk ke wilayah itu," tandasnya.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

2 dari 2 halaman

Pemerintah Butuh Rp 38,4 Triliun untuk Bangun Jaringan Gas hingga 2024

Pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) terus mendorong keterlibatan badan usaha dalam pembangunan jaringan gas (jargas) kota. Peran swasta dalam skema Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha (KPBU) jargas kota ini rencananya akan dimulai pada 2021.

Direktur Perencanaan dan Pembangunan Infrastruktur Migas Kementerian ESDM Alimudin Baso mengatakan, pembangunan jargas kota ini jangan dilihat dari sudut pandang ekonomis. Sebab, inisiasi proyek ini di awal akan memakan biaya yang sangat besar.

"Tentu perdebatannya keekonomian. Saya bicara dengan teman-teman, kalau Anda bicara soal keekonomian, maka gas kota tidak akan pernah ekonomis," tegas dia dalam sesi forum group discussion bersama IAPMIGAS di JS Luwansa Hotel, Jakarta, Selasa (11/2/2020).

Sebagai contoh, dia memaparkan, jika suatu badan usaha berinvestasi pada kegiatan jaringan gassebagai supplier product, maka rata-rata angka modalnya terhitung cukup mahal, di atas Rp 11-12 juta per sambungan.

"Tapi untuk daerah kota yang punya tingkat kerapatan lebih tinggi, mungkin sekitar Rp 7 juta (per sambungan). Sementara di diskursus kita selama ini kalau mau ekonomian itu dibawah Rp 7 juta itu sulit sekali," jelas dia.

Alimudin menyampaikan, pemerintah telah membuat skenario keterlibatan badan usaha dalam pembangunan jargas kota hingga 2024. Pada skema tersebut, pendanaan untuk pengadaan jargas dalam periode waktu tersebut terhitung mencapai Rp 38,4 triliun.

Indikasi pendanaan APBN pada skema ini terhitung kecil, hanya sekitar Rp 4,1 triliun. Sisanya diambil oleh perusahaan BUMN sebesar Rp 6,9 triliun, dan badan usaha melalui KPBU sekitar Rp 27,4 triliun.

"Tentu kami sangat berharap, dan kita akan men-support badan usaha melakukan komitmen untuk membangun jaringan gas kota. Ini yang kita dorong sampai tahun 2024 ini sangat besar," ujar Alimudin.Â