Liputan6.com, Jakarta - Pemerintah melalui Kementerian Keuangan dan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) tengah mematangkan sejumlah opsi penyelamatan untuk PT Asuransi Jiwasraya (Persero).
Dari sejumlah rapat yang dilakukan bersama jajaran Panitia Kerja DPR RI, terdapat tiga opsi besar penyelamatan Jiwasraya mulai dari bail out, bail in hingga likuidasi. Opsi ini akan diputuskan pada akhir Maret 2020.
"Kami tidak setuju Jiwasraya dilikuidasi karena asetnya hanya Rp 2 triliun, sementara tunggakannya lebih dari itu. Gimana mau bayar utang kami kalau dilikuidasi?," ujar Machril, salah satu nasabah Jiwasraya di Jakarta, Senin, (2/3/2020).
Advertisement
Baca Juga
Machril bercerita, adanya tiga opsi penyelamatan Jiwasraya pernah ia dengar bersama beberapa nasabah ketika melakukan protes ke kantor Otoritas Jasa Keuangan (OJK) beberapa waktu lalu.
Meski tak dijelaskan secara rinci, para nasabah cenderung lebih sreg dengan opsi bail in yang dilakukan melalui Penyertaan Modal Negara (PMN) ke induk usaha BUMN asuransi yakni PT Bahana Pembinaan Usaha Indonesia (Persero).
Berangkat dari opsi tersebut, Machril pun berharap pemerintah bisa memastikan bahwa kucuran PMN dapat dioptimalkan dengan baik, demi memperbaiki kinerja Jiwasraya dan membayar tunggakan ke nasabah.
"Jelas Kami lebih memilih opsi PMN daripada likuidasi meski harus menunggu 2021. Tapi Kami inginnya agar solusi ini lebih cepat," imbuh Machril.
Â
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
OJK Diminta Tak Lepas Tangan
Untuk itu, ia juga berpesan agar jajaran OJK tidak boleh lepas tangan di dalam penyelamatan Jiwasraya. Ini mengingat kasus gagal bayar Jiwasraya tak lepas dari lemahnya pengawasan OJK selama bertahun-tahun.
"Kalau pengawasan yang dilakukan OJK benar tidak akan terjadi seperti ini. Bahkan pada 2016 BPK pernah melaporkan ada yang salah dengan Jiwasraya. Kalau saat itu ditindaklanjuti dengan benar harusnya tidak akan seperti sekarang," tutur Machril.
Seperti yang diketahui, terdapat 4 masalah utama yang menjadi faktor Jiwasraya mengalami gagal bayar terhadap hak nasabah.
Pertama, kesalahan pembentukkan harga (mispricing) di dalam penerbitan produk tradisional dengan bunga 14% net dan produk JS Savings Plan yang memiliki bunga pasti di antara 9-13 persen.
Kedua, lemahnya prinsip kehati-hatian dan pengawasan OJK dalam berinvestasi di mana Jiwasraya banyak melakukan investasi-investasi pada high risk asset untuk mengejar high return.
Ketiga, adanya rekayasa laporan keuangan (window dressing) demi menutupi kondisi defisit ekuitas Jiwasraya yang sebenarnya, akibat kerugian atas investasi dan pelanggaran prinsip Good Corporate Governance (GCG). Rekayasa laporan keuangan ini berjalan selama bertahun-tahun tanpa disadari oleh pengawas meskipun tiap 3 bulan sekali perusahaan asuransi wajib melaporkannya.
Keempat, adanya tekanan likuiditas dari produk Savings Plan lantaran nasabah mulai menarik investasinya karena mulai menaruh curiga dengan imbal hasil yang dijanjikan.
Advertisement