Liputan6.com, Jakarta - Kementerian Keuangan (Kemenkeu) menyebut negara-negara yang tergabung ke dalam G20 telah sepakat untuk mengembangkan Infrasturcture Technology atau Infratech. Kesepakatan itu ditujukan dalam rangka mendukung penggunaan teknologi pada infrastruktur.
Staf Ahli Makro Ekonomi dan Keuangan Internasional Kementerian Keuangan, Suminto mengungkapkan, manfaat penggunaan teknologi pada infrastruktur sangat luas. Salah satunya adalah meningkatkan kualitas keputusan investasi dalam jangka panjang.
Di samping itu manfaat lain dari penggunaan teknologi infrastruktur juga akan meningkatkan nilai tambah ekonomi di suatu negara. Selain itu juga akan meningkatkan kualitas infrastruktur yang berdampak pada hasil sosial, ekonomi, dan lingkungan yang lebih baik.
Advertisement
"G20 punya kesamaan pandang bahwa teknologi memberikan manfaat pada infrastruktur secara luas," kata dia di Gedung Kementerian Keuangan, Jakarta, Senin (2/3).
Baca Juga
Dia menambahkan, kesepakatan ini juga merupakan tindak lanjut implementasi dalam roadmap to infrastructure as an asset class pada presidensi Argentina 2018 lalu. Dalam pertemuan itu negara-negara G20 semangatnya mengarah bagaimanamenumbuhkan minat private sektor untyk pembangunan infrastruktur.
"Salah satu kuncinya gimana infrastruktur jadi aset kelas," imbuh dia.
Kemudian di 2019 di bawah presidensi Jepang, pembahasannya fokus pada bagimana negara G20 mendapatkan infrastruktur yang berkualitas.
"Di residence Saudi, semangatnya gimana implementasikan roadmap to infrastructure as an asset class dan quality infrastructure investment principal ke teknologi. Sehingga di presidensi Saudi, pertama adalah gimana melanjutkan implementasi roadmap to infrastructure as an asset class sebagai hasil dari presidensi 2018" jelas dia.
Reporter: Dwi Aditya Putra
Sumber: Merdeka.com
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Sri Mulyani: Indonesia Negara G20 dengan Utang Paling Rendah
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyatakan, pemerintah akan terus berkomitmen dalam mengelola utang secara efisien, hati-hati, transparan dan akuntabel. Hal itu disampaikannya dalam rapat kerja bersama Badan Anggaran Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
"Karena Indonesia pada saat ini dikenal sebagai negara emerging besar dengan tingkat utang termasuk paling rendah dan defisit paling rendah, dibanding negara G20, maupun negara-negara emerging di luar G20 lainnya," kata Sri Mulyani di ruang sidang Badan Anggaran DPR, Jakarta, Rabu (28/8/2019).Â
Bendahara Negara ini mengatakan, pembiayaan utang pada 2020 ditaksir akan berada di Rp 351,9 triliun. Angka itu lebih rendah dari posisi 2018 yang sebesar Rp 372 triliun. Posisi tersebut juga lebih rendah dari outlook 2019 yang sebesar Rp 373,9 triliun.
Menurutnya, pengendalian rasio utang di 2020 tersebut juga masih dalam batas aman berkisar 29,4 hingga 30,1 persen PDB untuk mendukung kesinambungan fiskal. Sedangkan untuk menjaga keseimbangan makro dengan menjaga komposisi utang domestik dan valas dalam batas terkendali, serta pendalaman pasar keuangan.
Advertisement
Realisasi Pembiayaan Utang
Seperti diketahui, Kementerian Keuangan mencatat realisasi pembiayaan utang hingga akhir Juli 2019 mencapai Rp 234,13 triliun atau 65,2 persen target APBN. Dengan demikian posisi utang saat ini tembus sebesar Rp 4.603 triliun.
"Realisasi pembiayaan hingga Juli 2019 sebesar Rp234,13 triliun," ujar Menteri Keuangan Sri Mulyani di Kantor Kemenkeu, Jakarta, pada Senin kemarin.
Adapun penarikan utang hingga Juli 2019 sebesar Rp 234,13 terdiri dari realisasi Surat Berharga Negara (SBN) sebesar Rp 241,19 triliun atau 62,0 persen target APBN.
Pemerintah telah menerbitkan SBN ritel secara online sebanyak 6 kali yang terdiri dari SBR005, ST003, SR011, SBR006, ST004 dan SBR007.
Reporter: Dwi Aditya Putra
Sumber: Merdeka.comÂ