Liputan6.com, Jakarta - Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo menyatakan, BI terus memonitor kondisi penyebaran virus Corona secara global dan pengaruhnya ke pasar keuangan.
Menurut penilaian BI, intensitas virus Corona di China sudah mulai mereda. Namun, pasca ditemukan penyebaran virus di luar China ketidakpastian ekonomi global justru semakin berkepanjangan.
Hal ini kemudian membuat investor global menarik dananya dari negara berkembang dan beralih ke aset yang lebih aman.
Advertisement
"Investor global menarik penempatan dananya di pasar keuangan negara berkembang dan mengalihkan kepada aset keuangan dan komoditas yang dianggap aman," ujar Perry di kantornya, Senin (02/03/2020).
Baca Juga
Perry menyatakan, para investor cenderung menarik dana dan mengkonversikannya ke uang tunai atau memasukkannya ke bentuk investasi lain seperti emas atau US Treasury bond (surat berharga pemerintah AS).
Dikatakan Perry, kondisi ini menekan pasar keuangan dunia dan memberikan tekanan depresiasi cukup tajam pada banyak mata uang global, termasuk Indonesia.
Untuk itu, BI terus memperkuat koordinasi kebijakan dengan pemerintah untuk menstabilisasi nilai tukar rupiah dan memitigasi dampak resiko penyebaran virus Corona di Indonesia.
Pemerintah telah dan akan terus meningkatkan ruang stimulus fiskal dan memberikan kemudahan berusaha di sektor riil termasuk pariwisata dan ekspor impor untuk menopang pertumbuhan ekonomi.
"Bank Indonesia terus konsisten menjaga stabilitas moneter, nilai tukar Rupiah, dan pasar keuangan, serta mendorong momentum pertumbuhan ekonomi," kata Perry
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Jurus BI Redam Kepanikan Pasar Imbas Virus Corona
Perekonomian global mulai bergejolak akibat wabah Virus Corona. Semula dampak virus berkode covid-19 ini dianggap pasar bakal teratasi dengan cepat selaiknya saat terjadi wabah SARS. Sayang, meluasnya area penyebaran virus membuat pasar jadi panik. Banyak investor menarik investasi untuk menghindari resiko dana hilang.
"Uang enggak ada yang loyal. Uang hanya loyal terhadap return yang dia dapat, berapa resikonya," kata Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia, Destry Damayanti di Gedung Thamrin Bank Indonesia, Jakarta Pusat, Jumat (28/2/2020).
Dampak Virus Corona memang sudah diprediksi oleh Bank Indonesia. Salah satunya terjadi penurunan ekonomi. Namun saat ini kondisi Indonesia masih jauh lebih baik dibandingkan negara-negara di kawasan Asia Tenggara.
Para pemangku kebijakan telah berupaya merespon hal ini. Baik itu pemerintah dan regulator seperti Bank Indonesia dan OJK. Semua arahnya serentak dengan easing policy dan injeksi. Hanya memang semua dilakukan secara terukur.
"Jadi memang ada pelonggaran. Pemerintah keluarkan kebijakan fiskal berupa injeksi-injeksi," kata Destry.
Dalam hal ini, sektor pariwisata, industri, perdagangan dan investasi terkena dampak langsung. Di investasi akan terasa lantaran China banyak terlibat dalam proyek hilirisasi yang pada komoditi Indonesia.
Namun, saat ini investor sedang menahan diri karena terjadi risk off. Investor yang awalnya suka risiko dengan investasi ke pasar saham kini tak mau mengambil resiko.
Sebaliknya mereka menarik investasi untuk berpindah ke instrumen yang lebih aman. Misalnya investasi dalam bentuk dolar Amerika, surat utang (bonds) atau emas.
"Saat terjadi risk off, enggak berani dia ngambil risiko jadi dia pergi ke instrumen yang dianggap aman," kata dia.
Advertisement
Langkah yang Dilakukan
Dalam kondisi seperti ini pemerintah dan regulator melakukan berbagai langkah konkret. Pemerintah melakukan stimulus fiskal yang dilakukan Kementerian Perekonomian dan Kementerian Keuangan.
Bank Indonesia melakukan gelombang kebijakan moneter. Termasuk operasi moneter dengan triple intervention, yakni spot, pembelian SBN dan DNDF. Pada spot, ada beberapa aset yang dijual investor yang dijual bonds. Setelah baru investor masuk ke spot market.
"Kita juga masuk ke bonds market dalam rangka untuk stabilitas karena hubungan bonds market dengan currency kita sangat dekat hubungannya," Destry menerangkan.
Dia melanjutkan, jika terjadi outflow pasti akan menyerap ke rupiah. Sehingga saat ini pihaknya berusaha menjaga agar tujuan nilai tukar rupiah tetap stabil.
DNDF merupakan instrumen untuk hedging (strategi lindung nilai). Asing membeli aset di Indonesia pasti menggunakan rupiah. Saat aset dijual, uang yang didapatkan berupa rupiah dan harus ditukar ke dalam dolar kembali nantinya.
"Suatu ketika nanti kan dia harus balik lagi ke dolarnya itu kan. Belajar dari pengalaman, biasanya mereka akan hedging dulu. Mau sebulan atau 3 bulan, tergantung,"Â jelas Destry.
Sebelum adanya DNDF, kondisi ini lebih parah lantaran investasi bisa diatur oleh investor asing. Tetapi ini masih banyak dimanfaatkan asing yang masih ingin mengamankan posisi.
"Tapi kita juga enggak bisa nentuin BI mau di rate sekian. Kita berusaha smoothing sambil kemudian pemerintah dengan stimulus fiskalnya dan kami dengan easing policy kami, dan OJK dengan easing policy-nya. Kita bersama-sama melakukan concert action mendorong domestik ekonomi kita," papar dia.
Satu sisi Bank Indonesia perlu menjaga stabilitas rupiah agar confidence membaik. Tapi ekonomi juga harus bergerak khususnya pariwisata.
Destry menambahkan saat ini semua pihak sedang berupaya meminimalisir dampak. Dia meyakini kondisi ini akan mendatangkan hikmah. Baik itu berupa subtitusi impor atau meningkatkan turis dan sebagainya.
Reporter: Anisyah Alfaqir
Sumber: Merdeka.com Â