Sukses

Pasar Saham Ambruk, Imbas Ekonomi Jepang dan Anjloknya Harga Minyak

Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) terus merosot pada Senin (9/3/2020) ini.

Liputan6.com, Jakarta - Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) terus merosot pada Senin (9/3/2020) hari ini. Setelah anjlok 2,44 persen ke level 5.364,6 saat pembukaan, indeks semakin merosot jadi 4,22 persen ke 5.266,28 pada akhir sesi I perdagangan hari ini.

Pasar saham Asia juga turut terkena imbas kemerosotan. Seperti indeks acuan Nikkei di Jepang yang merah 5,67 persen, dan indeks di The Stock Exchange of Thailand (SET) yang merosot tajam ke angka 5,85 persen.

Associate Director of Research and Investment PT Pilarmas Investindo Sekuritas Maximilianus Nico Demus mengatakan, salah satu indikator utama pelemahan indeks pasar saham Asia hari ini yakni kabar anjloknya perekonomian Jepang pada kuartal akhir 2019 silam.

"Pasar saham Asia kali ini mengalami tekanan yang cukup tinggi. Hal tersebut dinilai berasal dari kekhawatiran pelaku pasar setelah Jepang secara resmi mengeluarkan kinerja GDP kuartal 4 2019 dan neraca pembayaran yang meleset dari ekspektasi," jelasnya kepada Liputan6.com, Senin (9/3/2020).

Sebagai informasi, Kantor Kabinet Jepang hari ini baru saja melaporkan, Produk Domestik Bruto atau Gross Domestic Product (GDP) negaranya mengalami kontraksi 7,1 persen pada Kuartal IV 2019. Ini merupakan penyusutan terbesar sejak GDP Jepang menyusut 7,4 persen pada 2014 lalu.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

2 dari 2 halaman

Harga Minyak Anjlok

Selain kemerosotan ekonomi Jepang, Maximilianus melanjutkan, pelaku pasar saat ini juga memastikan dampak dari pelemahan minyak dunia yang turun cukup signifikan setelah the Organization of the Petroleum Exporting Countries (OPEC) gagal meraih kesepakatan untuk mengurangi produksi minyak.

Menurutnya, sejauh ini banyak pihak yang mengharapkan adanya penurunan produksi minyak guna menjaga supply dan harga minyak agar lebih stabil. Dia melihat hal tersebut memiliki dampak positif dan minusnya.

"Positifnya, harga minyak yang rendah akan berdampak pada meningkatnya impor bagi negara importir minyak dan rendahnya harga minyak saat ini juga dinilai dapat berdampak pada rendahnya biaya operasional bagi para pengguna di kawasan industri," ungkap dia.

"Negatifnya, tertekannya harga minyak dunia dapat berdampak pada fiscal negara produsen dimana hal yang sama juga terjadi pada tahun 2016 ketika harga minyak menyentuh USD 26 per barrel," dia menambahkan.

Merujuk pada situasi tersebut, ia menyatakan bahwa IHSG kali ini juga ikut terdampak aksi panik jual, dimana sebagian besar bursa regional ikut tertekan.

"Menyusul rilis data Consumer Confidence untuk bulan Februari yang mencatatkan adanya penurunan 2,8 persen MoM. Penurunan saat ini lebih rendah dari ekspektasi sebelumnya yang diperkirakan hanya berada 2,2 persen," tandasnya.