Liputan6.com, Jakarta - Harga minyak dunia terus dalam tekanan. Bahkan paket stimulus yang telah digelontorkan pemerintah AS tak mampu memberikan persepsi positif kepada pelaku pasar.Â
Dikutip dari Financial Times, Senin (30/3/2020), harga minyak mentah jenis Brent turun 6 persen ke level USD 23,03 per barel, terendah sejak 2002. Sementara harga minyak West Texas Intermediate (WTI) turun 6 persen juga ke level USD 19,92 per barel.
Lebih parah lagi, pasokan minyak dunia yang semakin melimpah membuat tempat penyimpanan (storage) minyak penuh. Hal ini dikarenakan Arab Saudi berencana membanjiri dunia dengan membuka keran minyak mentah mereka.
Advertisement
Analis dari Rystad Energi menyebutkan, harga minyak dunia bisa saja jatuh ke level USD 10 per barel karena dunia kehabisan tempat untuk menampung minyak tersebut, ditambah lagi pandemi Corona yang semakin berkepanjangan, membuat minyak dunia mengendap dan tidak digunakan karena industri berhenti beroperasi sementara waktu.
"Ruang penyimpanan minyak dunia telah mencapai 3/4 dari porsi keseluruhan per Januari, ditambah lagi industri di China yang terhenti sementara karena Covid-19 membuat cadangan minyak tidak terpakai," demikian dikutip dari laman The Guardian.
Â
Kesepakatan OPEC dan Rusia
Tentu, kondisi saat ini dapat ditanggulangi jika saja Arab Saudi dan Rusia mencapai kesepakatan dalam rapat antara OPEC (Organisasi Negara-Negara Pengekspor Minyak Bumi) dengan Rusia untuk menahan produksi minyak. Adapun, kedua negara bersaing mendapatkan tempat di pasar sehingga berlomba-lomba memproduksi minyak mentah, bahkan sampai oversupply.
Gegara "perang dingin" ini, produksi minyak mentah dunia diprediksi bertambah hingga 2,5 juta barrel per hari. Analis memperkirakan, dunia masih memiliki minyak mentah sekitar 7,2 juta barel, termasuk 1,3 hingga 1,4 juta barrel yang masih belum terkeruk.
"Normalnya butuh waktu 9 bulan untuk memenuhi ruang penyimpanan minyak dunia tapi dengan kondisi saat ini, hal itu bisa tercapai dalam beberapa bulan saja. Dan harga minyak mentah Brent akan mengikuti takdir mereka sama seperti 1998, yaitu jatuh ke angka USD 10 per barrel," demikian ujar Analis Rystad Energy, Paola Rodriguez-Masiu.
Advertisement