Liputan6.com, Jakarta - Di tengah pandemi Corona covid-19 yang menyerang seluruh dunia, permintaan alat pelindung diri (APD) serta keperluan medis lainnya meningkat. Sementara negara yang memproduksi juga harus memenuhi kebutuhan APD dan peralatan medis untuk keperluan dalam negeri.
Untuk itu, beberapa negara memutuskan melakukan pembatasan ekspor.
Profesor perdagangan internasional dan ekonomi di Universitas St. Gallen di Swiss, Simon Evenett, mengatakan bahwa pada tahun ini tercatat telah ada 91 pembatasan ekspor yang dilaksanakan oleh 69 yurisdiksi. Sebagian besar diberlakukan pada Maret, ketika pusat virus berpindah ke Eropa dan kemudian AS.
Advertisement
Hal tersebut nampaknya memicu gesekan internasional. Para pejabat di Jerman dan Prancis berselisih dengan Washington terkait dengan upaya Amerika yang dinilai tidak adil dalam mendapatkan peralatan medis untuk menangani pandemi Corona covid-19.
Melansir dari laman Bloomberg, Selasa (7/4/2020), Menteri dalam Negeri Jerman, Andreas Geisel, menyalahkan Amerika karena menyita 200 ribu masker yang dipesan dari produsen AS ketika sedang transit melalui Bangkok.
Kemudian, Pejabat Prancis juga menuduh orang Amerika yang tidak dikenal telah membayar atas peluang untuk mengamankan masker di China yang telah dialokasikan untuk Prancis. Kedutaan Besar AS di Paris membantah bahwa pemerintah federal telah terlibat dalam tindakan seperti itu.
Â
**Ayo berdonasi untuk perlengkapan medis tenaga kesehatan melawan Virus Corona COVID-19 dengan klik tautan ini.
Tak Semua Negara Produksi
Menurut World Trade Organization (WTO), krisis terkait peralatan medis ini bernilai sekitar USD 597 miliar pada 2019. Masalah ini muncul karena tidak semua negara memproduksi barang-barang yang diperlukan, mulai dari sabun dan pembersih tangan hingga jarum suntik dan kacamata pelindung.
Salah satu contoh: Cina, Jerman dan AS mengekspor 40 persen produk alat pelindung diri di dunia. Sementara itu, China adalah pengekspor masker wajah terbesar di dunia, dengan pangsa 25 persen.
Advertisement