Sukses

Fokus Tangani Corona, Pemerintah Jangan Lupakan Nasib Nasabah Jiwasraya

Jiwasraya pada akhir Maret lalu telah melakukan pencairan dana nasabah sebesar Rp 47 miliar

Liputan6.com, Jakarta - Inisiasi penerbitan surat utang Pandemic Bond atau Recovery Bond untuk menahan dampak virus corona (Covid-19) terhadap perekonomian rupanya mendapat kritikan dari nasabah PT Asuransi Jiwasraya (Persero).

Perwakilan nasabah Jiwasraya, Machril mengatakan, nasabah Jiwasraya saat ini membutuhkan kepastian hak pencairan dana di tengah masa krisis akibat virus corona.

"Kok repot-repot bikin utang baru (Pandemic Bond) untuk mikirin pengusaha yang akan kesulitan nanti. Di depan matanya ada 17.370 nasabah JS Saving Plan yang sudah megap-megap sejak tahun 2018 tidak diselesaikan lebih dahulu," ujarnya kepada Liputan6.com, Kamis (9/4/2020).

"Mereka-mereka itu juga pelaku usaha yang mempekerjakan karyawan dan juga butuh duit/capital pada saat sekarang (Covid-19)," tuntut Machril.

Sebelumnya, Jiwasraya pada akhir Maret lalu telah melakukan pencairan dana nasabah sebesar Rp 47 miliar. Tapi, itu hanya untuk nasabah tradisional.

Machril menekankan, pemerintah seharusnya juga peduli terhadap nasib para nasabah Jiwasraya yang lama terlunta-lunta gara-gara tak punya modal dana.

"Kalau memang mau punya cadangan duit, nasabah didahulukan dan korban Covid setelah itu. Istilahnya, kawan lama jangan dilupakan jika dapat kawan baru," seru dia.

 

**Ayo berdonasi untuk perlengkapan medis tenaga kesehatan melawan Virus Corona COVID-19 dengan klik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Jiwasraya Mulai Bayar Klaim Nasabah, Tahap Pertama Rp 470 Miliar

Perusahaan asuransi Jiwasraya mulai membayar klaim nasabah polis tradisional. Sampai hari ini, Jiwasraya telah membayar 15 ribu polis nasabah yang sudah jatuh tempo dan terverfikasi.

Hal tersebut disampaikan Direktur Utama Jiwasraya Hexana Tri Sasongko dalam konferensi pers virtual, Selasa (31/3/2020).

BACA JUGA

Bob Hasan Dianggap Perintis Industri Furnitur Indonesia  "Kami mulai membayar polis tradisional yang sudah jatuh tempo dan terverifikasi, nilainya sekitar Rp 470 miliar," ujar Hexana.

Adapun sumber dana yang digunakan untuk membayar tunggakan klaim tersebut berasal dari aset-aset finansial Jiwasraya yang masih bisa dilikuidasi.

"Karena ketersediaan dana terbatas, jadi pembayaran tahap pertama dilakukan untuk sebagian polis tradisional yang sudah jatuh tempo dan diverifikasi," lanjut Hexana.

Sementara untuk pembayaran polis non-tradisional dan polis produk saving plan, Hexana menyatakan bahwa Jiwasraya masih menyusun skemanya dan sedang dibahas dengan pemegang saham dan regulator.

"Untuk yang lainnya saat ini sedang dalam pembahasan bersama pemegang saham dan regulator. Kami mohon agar semua nasabah bersabar," paparnya.  

3 dari 3 halaman

Waspadai Efek Domino dari Kasus Jiwasraya

Sebelumnya, Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) mengadakan kegiatan Forum Group Discussion (FGD). Diskusi itu membahas terkait "Penyelesaian Kasus Jiwasraya Terhadap Kinerja Sektor Keuangan dan Kepercayaan Investor.

Dalam kegiatan itu ISEI mengundang Pengamat Asuransi Hotbonar Sinaga, Ekonom Senior INDEF Faisla Basri, dan Sekretaris Jenderal Asosiasi Manajer Investasi Indonesia (AMII) Afifa.

Pengamat Asuransi Hotbonar Sinaga, yang membahas penyebab gagal bayar polis asuransi jiwa, yakni menyangkut kesalahan desain produk; mis investasi yang membedakan antara kewajiban atau investasi, kecurangan atau agency problem; kewajiban klaim (penghasilan premi).

Kemudian, Bad governance yaitu yang tidak menerapkan Governance, Risk Management, and Compliance yakni suatu istilah yang berisi tentang tiga bidang, yaitu tata kelola perusahaan, manajemen risiko korporasi, dan kepatuhan terhadap peraturan; pengawasan internal dan eksternal serta pembiaran. 

"Penyebab gagal bayar itu (Jiwasraya) karena kesalahan desain produk. surat ke Bapepam, di approve, dan menarik perhatian nasabah, sehingga terjadi mis investasi. Kewajiban klaim itu lebih besar daripada kewajiban premi. Penghasilan premi lebih kecil dibanding kewajiban klaim," kata Hotbonar di Gedung pusat ISEI, Jakarta, Kamis (12/3/2020).

Menurutnya sehingga dalam manejemen risiko itu terjadi pelanggaran, dan mengakibatkan gagal bayar, selanjutnya terjadi distrust ke asuransi, khususnya asuransi jiwa. Memang kalau bicara aspek keuangannya hanya 1 persen, tapi yang harus diperhatikan dampak lanjutannya atau efek domino.

"Ini dampaknya di luar dugaan, karena pihak yang berwenang Kejagung (kejaksaan Agung), yang punya kewenangan khusus. Kemudian ada penurunan pendapatan premi Jiwasraya, seolah terjadi skema ponzi (modus investasi palsu)," jelasnya.Â