Sukses

Gara-Gara Pelemahan Rupiah, Utang PLN Berpotensi Bengkak

Setiap pelemahan nilai tukar sekitar Rp 1.000 akan membuat utang naik Rp 9 triliun.

Liputan6.com, Jakarta - Direktur Utama Perusahaan Listrik Negara (PLN) Zulkifli Zaini mengatakan, pelemahan nilai tukar Rupiah terhadap Dolar Amerika Serikat (USD) dalam beberapa minggu belakangan berpotensi bengkak. Sebab, setiap pelemahan nilai tukar sekitar Rp 1.000 akan membuat utang naik Rp9 triliun.

"Kami sudah hitung, utang setiap Rp1000 per pelemahan terhadap USD maka biaya beban meningkat Rp9 triliun. Kalau Rupiah melemah Rp 2.000 maka Rp18 triliun peningkatan biaya utang kami," ujar Zulkifli melalui Video Conference dengan DPR di Jakarta, Kamis (16/4).

Pembengkakan tersebut salah satunya dipicu oleh jumlah utang yang dimiliki perusahaan pelat merah tersebut dalam bentuk valas atau valuta asing. Hal ini terjadi karena 70 persen pinjaman mengandalkan perbankan dari luar negeri.

"Utang Dolar PLN dalam valas cukup besar karena batas maksimum pemberian kredit bank domestik terbatas, kebutuhan PLN jauh lebih besar sehingga kami meminjam dari bank di luar domestik. Sekitar 70 persen utang dalam valas," paparnya.

Meski demikian, sejumlah mitigasi telah dilakukan untuk mengantisipasi pembengkakan utang yang lebih besar. Salah satunya melalui hedging. Hedging adalah strategi untuk melindungi dana dari fluktuasi nilai tukar mata uang yang tidak menguntungkan.

"Tetapi bapak-ibu kami secara operasional kami terus memitigasi resiko melalui hedging, memaksimalkan semaksimal mungkin yang berada dari bank domestik. Jadi itu yang kami sampaikan," tandasnya.

Reporter: Anggun P. Situmorang

Sumber: Merdeka.com

 

**Ayo berdonasi untuk perlengkapan medis tenaga kesehatan melawan Virus Corona COVID-19 dengan klik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Konsumsi Listrik Turun

Sebelumnya, Direktur Utama Perusahaan Listrik Negara Zulkifli Zaini mengatakan, penyebaran Virus Corona berdampak pada penjualan listrik PLN. Hal ini salah satunya terlihat dari konsumsi listrik Pulau Jawa menurun hingga 9,5 persen.

"Dampak terlihat sangat jelas dari pembangkit di Jawa Bali, Kalimantan dan Sulawesi. Sistim Jawa Bali mengalami penurunan dan penurunan Jawa Bali demandnya menurun 9,55 persen dan tergambar juga di tempat lain," ujarnya melalui Video Conference di Jakarta, Kamis (16/4).

Zulkifli mengatakan, penurunan penjualan listrik tidak hanya dirasakan oleh perusahaan dalam negeri tetapi juga di seluruh dunia. Salah satu penyebab penurunan penjualan listrik tersebut karena ditutupnya sejumlah aktivitas perkantoran dan bisnis komersial.

"Dari berbagai riset Covid akan berdampak pada berbagai negara tak terkecuali Indonesia. Ini berpengaruh terhadap sektor kelistrikan Indonesia berdampak dari sisi kWh jual. Penjualan listrik yang lebih rendah karena pembatasan dalam kegiatan perkantoran dan bisnis, pembatasan industri komersial dan manufaktur," jelasnya.

Dia menambahkan, selain Pulau Jawa wilayah lain di Indonesia juga mengalami konsumsi penurunan listrik. "Sistem Sumatera dari Aceh sampai Lampung terdapat penurunan -2,08 persen. Sistem NTT masih sedikit naik yaitu 0,9 persen," tandasnya.