Liputan6.com, Jakarta - Menteri Keuangan era SBY, Chatib Basri, menyebut bahwa Indonesia bisa saja menambal defisit APBN 2020 sebesar 5,07 persen terhadap PDB dari pembiayaan domestik. Salah satunya dengan menugaskan Bank Indonesia untuk melakukan cetak uang secara Modern Monetary Theory (MMT).
Sebagai informasi, Modern Monetary Theory diprakarsai oleh Mardigu Wowiek. Gagasan teori ini dalam penanganan covid-19 prinsipnya adalah tidak ada batasan untuk pembiyaan.
Artinya negara, harus mampu mengkompensasi hilangnya pendapatan yang disebabkan oleh wabah covid-19 ini kepada sektor perusahaan, pekerja, wiraswata, dan seluruh masyarakat yang terkena dampak tanpa batasan keuangan.
Advertisement
"Defisit anggarannya dibiayai oleh bank sentral kita bisa lakukan," kata Chatib dalam video conference di Jakarta, Selasa (21/4/2020).
Pemerintah sendiri telah melebarkan defisit APBN 2020 sebesar 5,07 persen dari sebelumnya yakni 3 persen dari PDB. Pelebaran defisit itu terjadi untuk meringankan beban APBN dalam upaya penanganan Covid-19 yang besaranya mencapai Rp405,1 triliun.
Meski pembiayaan defisit APBN bisa dilakukan oleh BI dengan mencetak uang, pemerintah juga perlu mempertimbangkan risikonya. Sebab, inflasi tidak menutup kemungkinan akan lebih tinggi jika pembiayaan defisit itu dilakukan oleh BI dengan jumlah yang banyak.
"Kalau kita cetak uang, itu kan berarti menambah demand pada saat supply turun. Kalau kita cetak uang, itu kan berarti nambah demand pada saat supply turun, yang terjadi adalah inflasi naik," kata Chatib.
Â
Beli Surat Utang Pemerintah
Di samping itu, BI juga bisa bisa membeli surat utang pemerintah atau government bond di pasar primer. Di mana hal ini sudah tertuang dalam Perppu Nomot 1/2020, tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Covid-19.
Kendati begitu, pemerintah bersama BI harus berhati-hati menjalankan kebijakan ini. Karena kondisi Indonesia cukup rentan, dan tidak bisa melakukan kebijakan cetak uang seperti yang dilakukan oleh Bank Sentral Amerika Serikat (AS).
"Indoneska uang ada, tapi tidak bisa terus-menerus, dan jumlahnya tidak bisa terlalu signifikan, seperti di AS," pungkas Chatib.
Dwi Aditya Putra
Merdeka.com
Advertisement