Sukses

Berpotensi Dongkrak Ekonomi, Omnibus Law RUU Cipta Miliki Catatan Kritis

Pertumbuhan ekonomi menunjukkan bawa selama lima tahun terakhir ini Indonesia memasuki kecepatan tumbuh 5 persen per tahun.

Liputan6.com, Jakarta Omnibus Law RUU Cipta Kerja dinilai memiliki potensi positif untuk ekonomi meski masih ada catatan kritis yang harus dibahas sebelum meloloskan RUU ini.

Ini diungkapkan Direktur Eksekutif  The Indonesian Institute, Center for Public Policy Research (TII) Adinda  Tenriangke Muchtar.

Dia mengatakan jika RUU Cipta Kerja sendiri sejak awal memang tidak lepas dari kebutuhan untuk memenuhi target Pemerintah dalam meningkatkan investasi dan mendukung kemudahan berusaha di Indonesia.

"Salah satu permasalahan yang menghambat investasi dan kemudahan berusaha adalah regulasi yang gemuk dan tumpang tindih, sehingga menambah beban biaya dan waktu, serta lebih jauh mempersulit upaya pembukaan kesempatan lapangan kerja yang lebih luas," ujar dia dalam keterangan tertulis, seperti dikutip Jumat (24/4/2020). 

Selain itu, pasar tenaga kerja yang dipersepsikan tidak terlalu fleksibel juga ikut menghambat investasi di Indonesia dan mempengaruhi daya saing Indonesia.

Dalam studi kualitatif awal TII mengenai Omnibus Law RUU Cipta Kerja ini, TII mencatat bahwa, data pertumbuhan ekonomi menunjukkan bawa selama lima tahun terakhir ini Indonesia memasuki kecepatan tumbuh 5 persen per tahun.

Besaran ini memang sudah cukup untuk menempatkan Indonesia di posisi kedua kelompok negara-negara G20. Namun, tetap ada aspirasi agar Indonesia tumbuh lebih cepat untuk keluar dari jebakan negara berpendapatan menengah.

Perhitungan kasar menunjukkan bahwa untuk tumbuh dalam kisaran 5,3 sampai 5,5 persen saja diperlukan pertumbuhan investasi antara 8 sampai 9 persen. Sementara, untuk pertumbuhan yang lebih tinggi dari itu diperlukan pertumbuhan investasi di atas 10 persen (double digit).

"Namun, faktanya saat ini pertumbuhan investasi dalam kurun waktu 2015-2019 tidak pernah lebih dari 7,94 persen per tahun," ," jelas dia.

Salah satu penyebab tersendatnya pertumbuhan investasi tidak bisa bergerak naik adalah indikator daya saing Indonesia.

Global Competitiveness Report/GCR 2019) besutan World Economic Forum (WEF) mencatat bahwa peringkat daya saing Indonesia menurun dari posisi 45 ke-50. Prosedur perizinan di Indonesia dinilai berbelit-belit. Hal ini salah satunya tercermin dari waktu untuk memulai bisnis yang menduduki peringkat ke-103.

Biaya untuk memulai usaha yang mendapatkan skor di peringkat ke-67. Secara teoretis, daya saing dan investasi menunjukkan hubungan yang positif. Artinya, ketika daya saing suatu negara mengalami kenaikan, maka investasi di negara tersebut juga akan meningkat.

Oleh sebab itu, dibutuhkan sebuah terobosan yang mampu mengkonfigurasi ulang hambatan-hambatan tersebut. Salah satunya melalui Undang-undang sapu jagat Omnibus Law.

Omnibus Law RUU Cipta Kerja, bukan hanya mengatur tentang ketentuan investasi dan kemudahan berusaha. Salah satu RUU Omnibus Law ini juga mengatur hal-hal lain, termasuk ketenagerjaan, lingkungan, industri pertambangan, pengelolaan wilayah pesisir dan kepulauan, Badan Usaha Milik Desa, serta Usaha Mikro Kecil dan Menengah.

 

2 dari 2 halaman

Catatan Lain

Dalam hal ini, TII mengatakan bahwa RUU Cipta Kerja juga didorong untuk menciptakan perluasan kesempatan kerja dan pemberdayaan ekonomi, melalui kemudahan berusaha dan proses perijinan yang mudah, serta difasilitasi pemerintah.

Catatan TII ini juga sejalan dengan Pasal 2 Omnibus Law RUU Cipta Kerja yang menyebutkan tentang asas penyelenggaraan jika RUU ini diloloskan nantinya, yaitu asas pemerataan hak, kepastian hukum, kemudahan berusaha, kebersamaan, serta kemandirian.

TII menilai bahwa Omnibus Law RUU Cipta Kerja sebagai kebijakan berpotensi positif bagi kebebasan ekonomi, pertumbuhan ekonomi dan pembangunan, serta kesejahteraan di Indonesia.

Namun, sejak awal, proses pembuatan RUU Cipta Kerja sudah mengundang polemik, dari prosesnya yang dinilai tidak inklusif, tidak transparan, terburu-buru, hingga banyak ketentuan yang diatur didalamnya dinilai mengabaikan aspek perlindungan HAM, demokrasi, penegakan hukum, dan mengancam keberlangsungan lingkungan hidup.

Lebih jauh, terkait tata bangunan dan logika hukum, RUU Cipta Kerja berpotensi menghidupkan kembali pasal yang pernah dibatalkan Mahkamah Konstitusi, yaitu ketentuan presiden bisa membatalkan peraturan daerah melalui peraturan presiden.

Jelas hal ini bertentangan dengan hierarki tata peraturan perundang-undangan yang berlaku. Belum lagi, potensi anomali dengan prinsip Omnibus Law, karena RUU Cipta Kerja nantinya akan mengamanatkan ratusan peraturan teknis untuk pelaksanaanya.

Hal ini pulalah yang membuat pembahasan RUU ini masih harus mengkritisi banyaknya ketentuan yang bermasalah, mengingat potensi dampak negatif serius yang akan ditimbulkannya.

TII menegaskan pentingya mengkritisi RUU ini mengingat aspek ekonomi juga berdampak terhadap aspek lainnya. Selain itu, pembangunan yang berkelanjutan dan mendukung kebebasan ekonomi tidak akan dapat berjalan baik dan berdampak positif, jika tidak memperhatikan pemangku kepentingan, konteks, serta dampak di aspek lainnya, termasuk aspek perlindungan HAM dan hukum, demokrasi, sosial, maupun lingkungan hidup.

Harus diakui bahwa Omnibus Law RUU Cipta Kerja masih memuat banyak ketentuan yang kontroversial dan justru ikut menghambat tujuannya karena proses pembuatannya yang sejak awal bermasalah.

Sebut saja ketentuan mengenai Pasal 93 RUU Cipta Kerja yang tidak memberi penjelasan rinci mengenai kata berhalangan terkait ketentuan tentang pemberian upah bagi buruh yang tidak masuk kerja karena berhalangan. Hal ini juga berpotensi merugikan hak-hak buruh perempuan seperti yang disuarakan serikat buruh.

Di sektor lingkungan dan industri pertambangan misalnya, banyak ketentuan yang dihapus atau tidak mengatur dengan ketat mengenai aspek pemberdayaan lingkungan dan sanksi, sehingga berpotensi mengabaikan AMDAL dan merusak lingkungan, serta memberi ruang luas untuk perpanjangan masa ijin perrtambangan dan membiarkan pengrusakan lingkungan.

TII mendesak agar semua catatan kritis dari beragam pihak harus dipertimbangkan dan dijadikan masukan dalam proses pembahasan RUU Cipta Kerja kedepan.

Di tengah krisis pandemi COVID-19 dan kritik publik terhadap Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) yang bersikukuh untuk terus melanjutkan pembahasan RUU ini, para pembuat kebijakan dituntut untuk membuktikan bahwa RUU Cipta Kerja tetap diproses sesuai dengan prinsip-prinsip tata kelola pemerintahan yang baik.

Dengan demikian, proses kebijakan yang inklusif, partisipatif, transparan, dan akuntabel, serta masukan dari berbagai pihak, menjadi hal yang sangat penting untuk memastikan agar RUU Cipta Kerja ini juga dalam prosesnya sejalan dengan asas penyelenggaraan yang termaktub dalam ketentuannya, serta relevan dengan dan memenuhi kepentingan dan kebutuhan beragam pihak, bukan hanya aspek ekonomi semata.