Sukses

Miliarder Amerika Makin Kaya Setelah Donald Trump Jadi Presiden

Per Maret 2020, jumlah miliarder Amerika naik menjadi 614 orang dengan kekayaan kolektif mencapai USD 2,9 triliun.

Liputan6.com, Jakarta Semenjak Donald Trump terpilih sebagai Presiden Amerika Serikat pada tahun 2017, miliarder negeri Paman Sam bertambah kaya 10,6 persen.

Hal ini merupakan hasil kajian Institut Kebijakan Publik Billionaire Bonanza, yang menganalisis data kekayaan para miliarder dari Bloomberg Billionaire Index dan Forbes Global Billionaires dalam 400 daftar sejak tahun 1990.

Mengutip laman Business Insider, Selasa (28/4/2020), hasil studi menunjukkan bahwa 565 miliarder Amerika pada tahun 2017 memiliki kekayaan rata-rata USD 2,7 triliun (data Forbes Global Billionaires).

Per Maret 2020, jumlah miliarder Amerika naik menjadi 614 orang dengan kekayaan kolektif mencapai USD 2,9 triliun. Sebulan setelahnya, jumlah miliarder bertambah lagi menjadi 629 orang dengan kekayaan kolektif USD 3,2 triliun. Ya, di tengah pandemi Corona, kekayaan miliarder Amerika justru meningkat.

Laporan non-partisan Tax Policy Center menyatakan, kemungkinan besar hukum perpajakan yang digagas Trump, Tax Cuts and Jobs Act (TCJA) pada akhir 2017 berperan besar dalam peningkatan kekayaan miliarder.

Mereka mendapatkan potongan pajak yang lebih besar seiringan dengan nilai pendapatan mereka.

Namun ternyata, temuan ini bukanlah kabar baik karena makin kayanya miliarder Amerika menunjukkan gap kekayaan dan kemiskinan masyarakata negeri Paman Sam yang semakin melebar.

Gap ini diteliti selama 50 tahun oleh sensus kependudukan Amerika Serikat. Kebanyakan, kekayaan ini berlangsung karena diteruskan generasi demi generasi. Orang-orang yang memimpin bisnis tidak semata-mata dinilai karena kemampuan dan bakat, namun karena hubungan tertentu.

Makanya, beberapa miliarder seperti Bill Gates dan istrinya mendirikan Giving Pledge, organisasi non-profit yang mengajak para orang-orang kaya untuk menyalurkan harta mereka kepada hal positif daripada hanya ditumpuk di kas rumah tangga saja.

"Zaman sekarang, anak orang kaya bisa dengan mudah menghindari utang masuk universitas karena orang tuanya memiliki kekayaan. Sementara, mereka yang berasal dari keluarga biasa saja harus berjuang untuk mencukupi hidupnya. Pada realitanya, indikator kesejahteraan ekonomi tidak diukur dari intelegensi dan kerja keras, tapi kekayaan generasi," kaya Josh Hoxie, direktur Project on Opportunity and Taxation Institute for Policy Studies.

2 dari 2 halaman

500 Ribu Miliarder AS Harus Rela Hilang Harta Gara-gara Virus Corona

Jumlah miliarder di Amerika Serikat (AS) anjlok dari rekor tertinggi gara-gara krisis finansial akibat wabah pandemi virus corona (Covid-19) yang secara perlahan menghancurkan kekayaan orang-orang terkaya di Negeri Paman Sam.

Pada akhir 2019 lalu, tercatat ada sekitar 11 juta miliarder di AS yang merupakan angka tertinggi sepanjang sejarah. Menurut sebuah studi baru yang dikeluarkan perusahaan riset Spectrem Group, hal tersebut merupakan buah hasil dari ekspansi ekonomi selama 11 tahun, pemotongan pajak hingga pengenaan suku bunga yang sangat rendah.

Seperti dilansir dari CNBC, Senin (27/4/2020), jumlah orang terkaya itu kini terpangkas setidaknya 500 ribu. Golongan sejahtera tersebut terkena imbas kejatuhan pasar saham lantaran mereka punya lebih banyak saham dibanding seluruh pemain lain.

Berdasarkan data Federal Reserve, sebanyak 1 persen pelaku teratas memiliki sekitar 53,5 persen saham dan reksa dana. Kerugian tersebut mempengaruhi orang kaya di semua tingkatan, mulai dari yang memiliki aset lebih dari USD 1 juta hingga di atas USD 25 juta.  

Tak hanya di Amerika, pandemi corona ternyata sangat mempengaruhi nilai aset miliarder dunia. Menurut Bloomberg Billionaire Index, 500 orang terkaya di planet ini telah kehilangan hampir USD 1,3 triliun sejak awal tahun. Itu mendekati penurunan 21,6 persen dari kekayaan bersih kolektif mereka.
 
Tentu saja, warga Amerika biasa cenderung mengalami dampak yang lebih parah dari wabah pandemi ini. Sebagai catatan, AS pada Selasa (21/4/2020) kemarin masih kokoh menduduki posisi teratas sebagai negara dengan jumlah positif corona terbanyak, yakni hampir menyentuh 800 ribu kasus.
 
Pada pertengahan Maret lalu, Goldman Sachs memperkirakan ada sekitar 2,25 juta warga Amerika yang kehilangan pekerjaan akibat Covid-19. Angka tersebut diyakini akan melampaui rekor pemutusan hubungan kerja (PHK) terbanyak di negara tersebut, yakni 695 ribu kasus pada 1982.
 
Departemen Tenaga Kerja Amerika Serikat melaporkan, jumlah warga yang mengajukan permohonan untuk tunjangan pengangguran melonjak. Angka tersebut diperkirakan akan terus meroket selama kegiatan ekonomi terhenti akibat virus corona.