Liputan6.com, Jakarta Ilmuwan dan miliarder Amerika Serikat (AS) diketahui bergabung membentuk kelompok yang disebut "Proyek Manhattan." Kelompok ini dirancang untuk membantu Gedung Putih memerangi wabah Virus Corona, menurut sebuah laporan.
Melansir laman Newyorkpost, Rabu (29/4/2020), mereka menyebut dirinya "Ilmuwan Penghenti COVID-19." Kelompok yang terdiri dari kumpulan peneliti, miliarder dan kepala industri terkemuka yang bertindak sebagai "dewan peninjau ad hoc."
Dewan peninjau bagi sejumlah penelitian tentang Virus Corona, serta mengolah data sebelum menyampaikan ke pembuat kebijakan, seperti dilaporkan Wall Street Journal.
Advertisement
Baca Juga
Kelompok ini juga bertindak sebagai perantara bagi perusahaan farmasi yang ingin berkomunikasi dengan pejabat di lingkungan Presiden Amerika Serikat Donald Trump.
Kelompok- yang menyamakan upaya mereka dengan "Proyek Manhattan" era Perang Dunia II, yang mengembangkan bom atom - telah memberi saran kepada Nick Ayers, Staf Wakil Presiden Mike Pence, serta para kepala badan lainnya, dalam sebulan terakhir.
Kelompok orang cerdas ini dipimpin Thomas Cahill, dokter berusia 33 tahun yang menjadi kapitalis ventura, dan termasuk pemenang Hadiah Nobel 2017.
Kemudian Michael Rosbash, ilmuwan saraf dan profesor biologi di Universitas Brandeis, dan Stuart Schreiber, ahli kimia dan Profesor Biologi Kimia Harvard.
Cahill bisa terlibat dari koneksi yang dibangun melalui perusahaan investasinya, Newpath Partners, dengan Peter Thiel dari Silicon Valley, pendiri PayPal, dan pengusaha miliarder Jim Palotta dan Michael Milken.
Anggota kelompok mengatakan tidak mengambil keuntungan finansial, tetapi termotivasi memberikan bantuan untuk membantu pemerintah melawan pertarungan yang melelahkan, serta memberikan pukulan krusial terhadap ekonomi dan akhirnya menginfeksi lebih dari 3 juta orang di seluruh dunia.
"Kita mungkin gagal," kata Schreiber kepada Journal. "Tapi jika itu berhasil, itu bisa mengubah dunia," dia menambahkan.
Miliarder Amerika Makin Kaya Setelah Donald Trump Jadi Presiden
Semenjak Donald Trump terpilih sebagai Presiden Amerika Serikat pada tahun 2017, miliarder negeri Paman Sam bertambah kaya 10,6 persen.
Hal ini merupakan hasil kajian Institut Kebijakan Publik Billionaire Bonanza, yang menganalisis data kekayaan para miliarder dari Bloomberg Billionaire Index dan Forbes Global Billionaires dalam 400 daftar sejak tahun 1990.
Mengutip laman Business Insider, Selasa (28/4/2020), hasil studi menunjukkan bahwa 565 miliarder Amerika pada tahun 2017 memiliki kekayaan rata-rata USD 2,7 triliun (data Forbes Global Billionaires).
Per Maret 2020, jumlah miliarder Amerika naik menjadi 614 orang dengan kekayaan kolektif mencapai USD 2,9 triliun. Sebulan setelahnya, jumlah miliarder bertambah lagi menjadi 629 orang dengan kekayaan kolektif USD 3,2 triliun. Ya, di tengah pandemi Corona, kekayaan miliarder Amerika justru meningkat.
Baca Juga
Laporan non-partisan Tax Policy Center menyatakan, kemungkinan besar hukum perpajakan yang digagas Trump, Tax Cuts and Jobs Act (TCJA) pada akhir 2017 berperan besar dalam peningkatan kekayaan miliarder.
Mereka mendapatkan potongan pajak yang lebih besar seiringan dengan nilai pendapatan mereka.
Namun ternyata, temuan ini bukanlah kabar baik karena makin kayanya miliarder Amerika menunjukkan gap kekayaan dan kemiskinan masyarakata negeri Paman Sam yang semakin melebar.
Gap ini diteliti selama 50 tahun oleh sensus kependudukan Amerika Serikat. Kebanyakan, kekayaan ini berlangsung karena diteruskan generasi demi generasi. Orang-orang yang memimpin bisnis tidak semata-mata dinilai karena kemampuan dan bakat, namun karena hubungan tertentu.
Makanya, beberapa miliarder seperti Bill Gates dan istrinya mendirikan Giving Pledge, organisasi non-profit yang mengajak para orang-orang kaya untuk menyalurkan harta mereka kepada hal positif daripada hanya ditumpuk di kas rumah tangga saja.
"Zaman sekarang, anak orang kaya bisa dengan mudah menghindari utang masuk universitas karena orang tuanya memiliki kekayaan. Sementara, mereka yang berasal dari keluarga biasa saja harus berjuang untuk mencukupi hidupnya. Pada realitanya, indikator kesejahteraan ekonomi tidak diukur dari intelegensi dan kerja keras, tapi kekayaan generasi," kaya Josh Hoxie, direktur Project on Opportunity and Taxation Institute for Policy Studies.
Advertisement